UN Sebuah Ironi
Ujian nasional (UN) kembali menjadi perhatian berbagai kalangan.
Sejak dimulainya UN tahun 2006, dan dijadikan seba gai alat menentukan
kelulusan siswa, maka UN sudah menjadi sorotan. Apakah UN pantas menjadi alat
evaluasi untuk mengukur keberhasilan siswa dalam mengikuti proses belajarnya di
sekolah atau tidak.
Jika ditelaah kembali tujuan pendidikan nasional dalam pembukaan
UUD 1945, justru niat baik pemerintah dalam penyelenggaraan UN ini perlu
dipertanyakan. UN yang tujuan awalnya untuk menentukan standar pendidikan
secara nasional, jika dievaluasi kembali, kebijakan penyelenggaraan UN ini
ternyata masih banyak dampak negatifnya daripada sumbangsihnya terhadap
pendidikan.
Memang guru di tingkat sekolah memiliki tanggung jawab moral
terhadap semua anak didiknya. Namun apakah tanggu ng jawab moral itu harus
tergadai kan dengan pelaksanaan UN yang sesaat tersebut. Di sisi lain, ada
orang-orang tertentu yang berpi kiran dangkal menjadikan penyele nggaraan UN
ini sebagai kesem patan meraup uang (bisnis), bukan lagi murni untuk melancar
kan pelaksanaan UN yang sasaran untuk mencapai tujuan pendidik an yang
termaktub dalam pembukaan UUD 1945 tersebut.
UN sebagai evaluasi standar kelulusan nasional dalam rangka
pemerataan pendidikan di Indone sia
telah mencambuk dunia pendidikan. Untuk menghadapi tantangan nasional sebagian gubernur, bupati/wako dan
dinas pendidikan memaksa agar seko lah-sekolah
mengha rumkan daerahnya masing-masing. Kalau cara yang ditempuh adalah
cara halal tentu tidak masalah. Namun tidak sedikit kecurangan yang dilakukan
demi sebuah nama harum tersebut.
Kuantitas kelulusan siswa dijadikan kesimpulan tentang sejauh mana
keberhasilan pendi dikan terlaksana. Sebuah motiva si yang positif memang. Namun apakah pemerintah benar-benar sudah
siap melaksanakan UN itu secara jujur dan legowo? Atau bila sebaliknya yang
terjadi justru akan mencemarkan
originalitas tujuan pendidikan. Apakah niat baik yang diselenggarakan deng
an proses yang tidak baik bisa mencapai
tujuan yang baik? Perlu jadi renungan! Tidak dinafikan, semua pihak berlomba
memena ngkan pertandingan tersebut dengan melakukan berbagai cara termasuk
dengan menodai tujuan pendidikan tersebut. Pendidikan adalah ruh kemajuan suatu
bangsa. Proses pendidikan yang berlangsung hari ini, akan berpengaruh pada
generasi masa datang. Perlu dipikirkan lagi apakah sistem pendidikan yang
dilalui generasi muda Indonesia saat ini mampu membenahi hidup mereka dimasa
datang.
UN telah membuat sebagian sekolah berpacu meraih prestasi. Para siswa semakin dikonsentrasi kan untuk
mempersiapkan diri menghadapi UN. Berbagai usaha ditempuh termasuk
dengan penambahan jam pelajaran, mela kukan pendekatan psikologis, memberi
motivasi dan pendidikan agama agar siswa siap bersaing secara nasional. Namun
berapa banyak sekolah yang telah
benar-benar siap dan mengha ramkan kecurangan?
Pemerintah sering menata sistem pendidikan nasional. Namun
penataan yang dilakukan bukan
memperbaiki yang rusak dan mengambil yang baiknya. Pemerintah justeru memangkas
habis semua bagian dari sistem yang lama dan diganti dengan yang baru. Padahal
sistem yang lama itu adalah hasil kerja pemerintah juga. Dalam hal ini
pergantian kurikulum KTSP dengan kurikulum 2013 dapat dijadikan contoh.
Sekaitan dengan judul
tulisan ini, maka sekali lagi yang harus pertanyakan, apakah UN sudah layak
menjadi alat evaluasi yang adil untuk menentukan standar kelulusan nasional, mengingat kondisi sarana
dan prasarana pendidikan yang tidak merata. Masih banyak daerah tertinggal yang
kekurangan guru. Konsistensi pada kejujur an bisa berarti
mengambil resiko, sebab bagi murid bisa jadi mereka tidak lulus dari
pendidi kannya. UN mempertaruhkan masa depan mereka walau proses pendidikan sudah
mereka lalui.
Sandra Dewi, S.Pd
SMPN 2 Danau Kembar Kab. Solok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar