Jumat, 10 Mei 2013

UN Sebuah Ironi



UN Sebuah Ironi


Ujian nasional (UN) kembali menjadi perhatian berbagai kalangan. Sejak dimulainya UN tahun 2006, dan dijadikan seba gai alat menentukan kelulusan siswa, maka UN sudah menjadi sorotan. Apakah UN pantas menjadi alat evaluasi untuk mengukur keberhasilan siswa dalam mengikuti proses belajarnya di sekolah atau tidak.
Jika ditelaah kembali tujuan pendidikan nasional dalam pembukaan UUD 1945, justru niat baik pemerintah dalam penyelenggaraan UN ini perlu dipertanyakan. UN yang tujuan awalnya untuk menentukan standar pendidikan secara nasional, jika dievaluasi kembali, kebijakan penyelenggaraan UN ini ternyata masih banyak dampak negatifnya daripada sumbangsihnya terhadap pendidikan.
Memang guru di tingkat sekolah memiliki tanggung jawab moral terhadap semua anak didiknya. Namun apakah tanggu ng jawab moral itu harus tergadai kan dengan pelaksanaan UN yang sesaat tersebut. Di sisi lain, ada orang-orang tertentu yang berpi kiran dangkal menjadikan penyele nggaraan UN ini sebagai kesem patan meraup uang (bisnis), bukan lagi murni untuk melancar kan pelaksanaan UN yang sasaran untuk mencapai tujuan pendidik an yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 tersebut.
UN sebagai evaluasi standar kelulusan nasional dalam rangka pemerataan pendidikan di Indone sia  telah mencambuk dunia pendidikan. Untuk menghadapi tantangan  nasional sebagian gubernur, bupati/wako dan dinas pendidikan memaksa agar seko lah-sekolah   mengha rumkan daerahnya masing-masing. Kalau cara yang ditempuh adalah cara halal tentu tidak masalah. Namun tidak sedikit kecurangan yang dilakukan demi sebuah nama harum tersebut.
Kuantitas kelulusan siswa dijadikan kesimpulan tentang sejauh mana keberhasilan pendi dikan terlaksana. Sebuah motiva si yang positif memang.  Namun apakah pemerintah benar-benar sudah siap melaksanakan UN itu secara jujur dan legowo? Atau bila sebaliknya yang terjadi justru akan  mencemarkan originalitas tujuan pendidikan. Apakah niat baik yang diselenggarakan deng an  proses yang tidak baik bisa mencapai tujuan yang baik? Perlu jadi renungan! Tidak dinafikan, semua pihak berlomba memena ngkan pertandingan tersebut dengan melakukan berbagai cara termasuk dengan menodai tujuan pendidikan tersebut. Pendidikan adalah ruh kemajuan suatu bangsa. Proses pendidikan yang berlangsung hari ini, akan berpengaruh pada generasi masa datang. Perlu dipikirkan lagi apakah sistem pendidikan yang dilalui generasi muda Indonesia saat ini mampu membenahi hidup mereka dimasa datang.
UN telah membuat sebagian sekolah berpacu meraih prestasi.  Para siswa semakin dikonsentrasi kan  untuk  mempersiapkan diri menghadapi UN. Berbagai usaha ditempuh termasuk dengan penambahan jam pelajaran, mela kukan pendekatan psikologis, memberi motivasi dan pendidikan agama agar siswa siap bersaing secara nasional. Namun berapa  banyak sekolah yang telah benar-benar siap dan mengha ramkan kecurangan?
Pemerintah sering menata sistem pendidikan nasional. Namun penataan yang dilakukan  bukan memperbaiki yang rusak dan mengambil yang baiknya. Pemerintah justeru memangkas habis semua bagian dari sistem yang lama dan diganti dengan yang baru. Padahal sistem yang lama itu adalah hasil kerja pemerintah juga. Dalam hal ini pergantian kurikulum KTSP dengan kurikulum 2013 dapat dijadikan contoh.
 Sekaitan dengan judul tulisan ini, maka sekali lagi yang harus pertanyakan, apakah UN sudah layak menjadi alat evaluasi yang adil untuk menentukan standar  kelulusan nasional, mengingat kondisi sarana dan prasarana pendidikan yang tidak merata. Masih banyak daerah tertinggal yang kekurangan guru. Konsistensi pada kejujur an bisa  berarti  mengambil resiko, sebab bagi murid bisa jadi mereka tidak lulus dari pendidi kannya. UN mempertaruhkan masa depan mereka walau proses pendidikan sudah mereka lalui.
Sandra Dewi, S.Pd
SMPN 2 Danau Kembar Kab. Solok

Tidak ada komentar:

Posting Komentar