Adat Nan Ampek di Ranah Minangkabau
Oleh : Irwan Setiawan,S.Pd
Budaya,
adat, tradisi adalah hal yang mulai jarang dibahas
dan dipelajari oleh generasi muda. Sebagian menilai hal itu tidak perlu
dipelajari karena hanya akan membuat mereka menjadi individu yang kuno, tak
mengikuti perkembangan zaman atau malahan ada yang menilai budaya dan tradisi
itu akan mengikat kita sehingga tak bisa bebas berkreasi. Akibat pandangan
tersebut, generasi muda Minangkabau banyak yang tidak mengenal lagi
konsep-konsep dasar adat budayanya. Salah satu konsep dasar adat tersebut adalah “Adaik nan ampek” (adat yang
empat) yaitu :
1. Adat nan sabana Adaik
(Adat yang sebenarnya adat).
Adat
ini merupakan adat yang paling utama yang tidak dapat diubah sampai kapanpun. Adat
nan sabana adat yaitu semua yang ada tuntunannya di dalam Syara’ (agama
Islam), atau “syarak mangato (menetapkan) dan adat mamakai (memakai
kan). Hal ini seperti kewajiban membaca dua kalimah syahadat (pengakuan
sebagai orang Islam) melaksanakan shalat, puasa, zakat, naik haji bila mampu,
serta tuntunan dan kewajiban syarak lainnya.. Hal yang paling prinsip bagi
seorang Minangkabau adalah kewajiban memeluk Islam. Orang Minang hilang
Minangnya kalau keluar dari agama Islam.
Berdasarkan
pemahaman ini setiap generasi muda Minang perlu mengintrospeksi diri, mengkaji
pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Apakah telah melaksa
nakan ajaran Islam dengan baik, atau malah telah meninggalkan nya dengan tanpa
rasa bersalah? Hal itu kita bisa nilai sendiri.
2. Adat nan diadatkan
(adat yang di adatkan)
Adat
ini adalah aturan yang telah disepakati dan diundangkan dalam tatanan Adat
Minangkabau dari zaman dulu melalui sebuah pengkajian dan penelitian oleh para
pemikir Minang. Contoh yang paling perinsip dalam adat ini adalah kewajiban
orang Minang memakai kekerabatan “Matrilineal”. Dalam kekerabat an
Minangkabau, pesukuan diambil dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah.
Akibat sistem kekerabatan ini, maka dikenal konsep “Dunsanak”
(persaudaraan dari keluarga ibu) dan “Bako” (persauda raan dari keluarga
ayah). Memilih dan menetapkan Penguhulu
suku dan Ninik mamak dari garis persaudaraan badunsanak berdasar kan dari ampek
suku asal (empat suku asal) “Koto, Piliang, Bodi, Caniago” atau berdasarkan
pecahan suku nan ampek.
Menetapkan
dan memelihara harta pusaka tinggi yang tidak bisa diwariskan kepada siapapun
kecuali diambil manfaatnya untuk anak kemenakan, seperti sawah, ladang, hutan,
pandam pakuburan, rumah gadang. Kedua adat diatas disebut “Adaik nan babuhua
mati” (Adat yang diikat mati) dan inilah disebut “Adat”, adat yang sudah
menjadi sebuah kete tapan dan keputusan berdasarkan kajian dan musyawarah yang
menjadi kesepakatan bersama antara tokoh Agama, tokoh Adat dan cadiak pandai
diranah Minang, adat ini tidak boleh dirubah-rubah lagi oleh siapapun, sampai
kapanpun, sehingga ia disebut “Nan indak lakang dek paneh, nan indak lapuak
dek hujan, dibubuik indaknyo layue dianjak indaknyo mati” (Yang tidak
lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan, dipindah tidak layu dicabut tidak
mati). Kedua adat ini juga sama diseluruh daerah dalam wilayah Adat Minangkabau
tidak boleh ada perbedaan karena inilah yang mendasari adat Minangkabau itu
sendiri yang membuat keistimewaan dan perbedaannya dari adat-adat lain di
dunia. Anak sicerek di dalam padi. Babuah batangkai-tangkai. Salamaik buah
nan mudo Kabek nan arek buhua mati Indaklah sia kamaungkai Antah kok kiamaik
nan katibo.
3. Adat nan Taradat
(adat yang teradat).
Adat
ini muncul karena sudah teradat dari zaman dahulu. Adat ini berupa ragam budaya
di beberapa daerah di Minangkabau yang tidak sama masing-masing daerah. Adat
ini juga disebut dalam istilah “Adaik salingka nagari” (adat selingkar
daerah). Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu nagari dan
interaksi antarsuku. Meskipun adat di setiap nagari berbeda, namun tetap harus
mengacu kepada ajaran Islam. Adat ini merupakan kesepakatan bersama antara
Penguhulu Ninik mamak, Alim ulama, cerdik pandai, Bundo Kanduang dan pemuda
dalam suatu nagari di Minangkabau serta disesuaikan dengan perkembangan zaman.
4. Adat Istiadat.
Adat
ini adalah merupakan ragam adat dalam pelaksanaan silaturrahim, berkomunikasi,
berintegrasi, bersosialisasi dalam masyarakat suatu nagari di Minangkabau
seperti acara pinang meminang, pesta perka winan dan lain-lain. Adat ini pun
tidak sama dalam wilayah Minang kabau. Di setiap daerah ada saja perbedaannya,
namun tetap harus mengacu kepada ajaran Agama Islam. Kedua adat yang terakhir
ini disebut “Adaik nan babuhua sentak” (adat yang tidak diikat
mati/longgar) dan inilah yang dinamakan “Istiadat”. Adat ini boleh diubah kapan
saja diperlu kan melalui kesepakatan Penghulu Ninik mamak, Alaim Ulama, Cerdik
pandai, Bundo kanduang dan pemuda yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Perubahan itu tetap harus disesuaikan dengan ajaran adat dan Agama Islam. Dalam pepatah adat dikatakan
“maso batuka musim baganti, sakali aie gadang sakali tapian baranjak “Masaklah
padi rang singkarak Masaknyo batangkai-tangkai, Dibaok urang ka malalo, Kabek
sabalik buhua sintak Jaranglah urang kamaungkai, Tibo nan punyo rarak sajo.
Irwan Setiawan,S.Pd (Guru SMK N 1 Baso). Diramu
dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar