Jumat, 10 Mei 2013

Adat Nan Ampek di Ranah Minangkabau



Adat Nan Ampek di Ranah Minangkabau

Oleh : Irwan Setiawan,S.Pd


Budaya, adat, tradisi adalah hal yang mulai jarang             dibahas dan dipelajari oleh generasi muda. Sebagian menilai hal itu tidak perlu dipelajari karena hanya akan membuat mereka menjadi individu yang kuno, tak mengikuti perkembangan zaman atau malahan ada yang menilai budaya dan tradisi itu akan mengikat kita sehingga tak bisa bebas berkreasi. Akibat pandangan tersebut, generasi muda Minangkabau banyak yang tidak mengenal lagi konsep-konsep dasar adat budayanya. Salah satu konsep dasar adat tersebut  adalah “Adaik nan ampek” (adat yang empat) yaitu :

1. Adat nan sabana Adaik (Adat yang sebenarnya adat).
Adat ini merupakan adat yang paling utama yang tidak dapat diubah sampai kapanpun. Adat nan sabana adat yaitu semua yang ada tuntunannya di dalam Syara’ (agama Islam), atau “syarak mangato (menetapkan) dan adat mamakai (memakai kan). Hal ini seperti kewajiban membaca dua kalimah syahadat (pengakuan sebagai orang Islam) melaksanakan shalat, puasa, zakat, naik haji bila mampu, serta tuntunan dan kewajiban syarak lainnya.. Hal yang paling prinsip bagi seorang Minangkabau adalah kewajiban memeluk Islam. Orang Minang hilang Minangnya kalau keluar dari agama Islam.
Berdasarkan pemahaman ini setiap generasi muda Minang perlu mengintrospeksi diri, mengkaji pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Apakah telah melaksa nakan ajaran Islam dengan baik, atau malah telah meninggalkan nya dengan tanpa rasa bersalah? Hal itu kita bisa nilai sendiri.


2. Adat nan diadatkan (adat yang di adatkan)
Adat ini adalah aturan yang telah disepakati dan diundangkan dalam tatanan Adat Minangkabau dari zaman dulu melalui sebuah pengkajian dan penelitian oleh para pemikir Minang. Contoh yang paling perinsip dalam adat ini adalah kewajiban orang Minang memakai kekerabatan “Matrilineal”. Dalam kekerabat an Minangkabau, pesukuan diambil dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah. Akibat sistem kekerabatan ini, maka dikenal konsep “Dunsanak” (persaudaraan dari keluarga ibu) dan “Bako” (persauda raan dari keluarga ayah). Memilih dan  menetapkan Penguhulu suku dan Ninik mamak dari garis persaudaraan badunsanak berdasar kan dari ampek suku asal (empat suku asal) “Koto, Piliang, Bodi, Caniago” atau berdasarkan pecahan suku nan ampek.
Menetapkan dan memelihara harta pusaka tinggi yang tidak bisa diwariskan kepada siapapun kecuali diambil manfaatnya untuk anak kemenakan, seperti sawah, ladang, hutan, pandam pakuburan, rumah gadang. Kedua adat diatas disebut “Adaik nan babuhua mati” (Adat yang diikat mati) dan inilah disebut “Adat”, adat yang sudah menjadi sebuah kete tapan dan keputusan berdasarkan kajian dan musyawarah yang menjadi kesepakatan bersama antara tokoh Agama, tokoh Adat dan cadiak pandai diranah Minang, adat ini tidak boleh dirubah-rubah lagi oleh siapapun, sampai kapanpun, sehingga ia disebut “Nan indak lakang dek paneh, nan indak lapuak dek hujan, dibubuik indaknyo layue dianjak indaknyo mati” (Yang tidak lekang kena panas dan tidak lapuk kena hujan, dipindah tidak layu dicabut tidak mati). Kedua adat ini juga sama diseluruh daerah dalam wilayah Adat Minangkabau tidak boleh ada perbedaan karena inilah yang mendasari adat Minangkabau itu sendiri yang membuat keistimewaan dan perbedaannya dari adat-adat lain di dunia. Anak sicerek di dalam padi. Babuah batangkai-tangkai. Salamaik buah nan mudo Kabek nan arek buhua mati Indaklah sia kamaungkai Antah kok kiamaik nan katibo.
 

3. Adat nan Taradat (adat yang teradat).
Adat ini muncul karena sudah teradat dari zaman dahulu. Adat ini berupa ragam budaya di beberapa daerah di Minangkabau yang tidak sama masing-masing daerah. Adat ini juga disebut dalam istilah “Adaik salingka nagari” (adat selingkar daerah). Adat ini mengatur tatanan hidup bermasyarakat dalam suatu nagari dan interaksi antarsuku. Meskipun adat di setiap nagari berbeda, namun tetap harus mengacu kepada ajaran Islam. Adat ini merupakan kesepakatan bersama antara Penguhulu Ninik mamak, Alim ulama, cerdik pandai, Bundo Kanduang dan pemuda dalam suatu nagari di Minangkabau serta disesuaikan dengan perkembangan zaman.


4. Adat Istiadat.
Adat ini adalah merupakan ragam adat dalam pelaksanaan silaturrahim, berkomunikasi, berintegrasi, bersosialisasi dalam masyarakat suatu nagari di Minangkabau seperti acara pinang meminang, pesta perka winan dan lain-lain. Adat ini pun tidak sama dalam wilayah Minang kabau. Di setiap daerah ada saja perbedaannya, namun tetap harus mengacu kepada ajaran Agama Islam. Kedua adat yang terakhir ini disebut “Adaik nan babuhua sentak” (adat yang tidak diikat mati/longgar) dan inilah yang dinamakan “Istiadat”. Adat ini boleh diubah kapan saja diperlu kan melalui kesepakatan Penghulu Ninik mamak, Alaim Ulama, Cerdik pandai, Bundo kanduang dan pemuda yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Perubahan itu tetap harus disesuaikan dengan ajaran adat dan  Agama Islam. Dalam pepatah adat dikatakan “maso batuka musim baganti, sakali aie gadang sakali tapian baranjak “Masaklah padi rang singkarak Masaknyo batangkai-tangkai, Dibaok urang ka malalo, Kabek sabalik buhua sintak Jaranglah urang kamaungkai, Tibo nan punyo rarak sajo.

Irwan Setiawan,S.Pd (Guru SMK N 1 Baso). Diramu dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar