Pendidikan dan Jati Diri
Oleh: Dafrizal
(UPT Pendidikan Prasekolah dan SD Kecamatan X Koto Diatas, Kab.
Solok.)
Banyak anak muda saat ini
yang mengidolakan tokoh dunia seperti penyanyi, bintang film dan berbagai tokoh
terkemuka lainnya. Segala penampilan tokoh itu digemari dan ditiru secara
total. Mereka meniru, memirip kan diri atau menyerupai gaya sang idola. Mereka
memandang bahwa meniru tokoh idola itu sebagai
suatu kebanggaan dan simbol. Di sisi lain mereka telah lupa dengan
dirinya sendiri.
Rias wajah, tatanan rambut , busana, cara berjalan, suara di buat
sedemikian rupa agar mendekati tokoh pujaan hati. Bahkan tidak jarang di antara
mereka yang membuang biaya cukup mahal sehingga menjadi demi menyerupai pujaan
hati tersebut. Mereka adalah para korban mode agar tidak ketinggal an zaman.
Sesungguhnya Tuhan men ciptakan manusia dalam berbagai bentuk yang
berbeda sebagai suatu karunia. Tidak pernah ada yang dapat sama sempurna bahkan
saudara kembar sekali pun. Perbedaan adalah keunikan, sehingga menjadi suatu
yang khas dan tidak dimiliki oleh orang lain. Meniru atau menjadikan diri
sebagai orang lain adalah suatu sikap tidak percaya diri dan tidak bersyukur
atas nikmat yang diberikan. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada mu
nikmat yang banyak, maka Shalatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah (hewan Qurban)
sesungguhnya orang yang mem bencimu, dialah yang terpisah (dari
kebaikan)”.(QS.106-Al-Kautsar : 1 – 3) .
Investasi yang paling penti ng, paling bermakna , paling
strategis dan paling menghasil kan ialah
pendidikan yang membangkitkan rasa percaya diri dan menumbuhkan rasa minat
untuk perkembangan diri dalam menuju profesional yang ber ketuhanan Yang Maha
Esa. “Bukan mencontoh dan bukan meniru untuk merusak diri serta kebudayaan”.
Crow and Crow (1960) mengemukakan, harus diyakini bahwa fungsi utama pendidikan
adalah bimbingan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan yang
sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga dia mempe roleh kepuasan dalam
seluruh aspek kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya.
Pendapat tersebut meman dang pendidikan bukan hanya pemberi
informasi pengetahuan dan pembentukan ketrampilan melainkan lebih luas dari
pada itu, meliputi usaha mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu
sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan. Pendi dikan
dipandang bukan hanya sebagai sarana
untuk menyiapkan individu bagi kehidupannya di masa datang tetapi juga untuk
hari ini dimana mereka sedang menga lami
perkembangan menuju tingkat kedewasaan. Jadi, pada hakekatnya pendidikan
memanda ng peserta didik sebagai makhluk yang dikaruniai berbagai potensi oleh
penciptanya.
Potensi yang dimiliki oleh peserta didik hanya dapat dikem bangkan
jika dia mengintegrasi kan diri dalam kehidupan masya rakat dan mewujudkan tata
kehi dupan dan nilai nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
“itulah manusia yang berbudaya dan bukan sebagai pak tiru dan buk
tiru”. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan
dari kebudayaan.
“Proses pendidikan adalah proses kebudayaan dan proses kebudayaan
adalah proses pendidikan”. Memisahkan pendidikan dari kebudayaan berarti
menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan
masyarakat.
Sunarya Kartadinata (1996) mengemukakan pengertian pendidikan
dalam rumusan yang cukup sederhana tetapi penuh makna, yaitu pendidikan
adalah proses membawa manusia dari apa
adanya kepada sebagaima na seharusnya. Kondisi apa adanya adalah
kondisi peserta didik saat itu, suatu keberadaan anak dengan segala potensi,
kemampuan, sifat dan kebiasaan yang dimilikinya. Sedangkan kondisi sebagaimana
seharusnya adalah kondisi yang diharapkan terjadi pada diri anak, berupa
perubahan perilaku dalam aspek cipta, rasa, karsa dan karya yang berlandaskan
dan bermuatan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional
Pasal 1 (1) dinyatakan pendidikan sebagai “ usaha sadar untuk menciptakan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan
yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat bangsa dan negara”.
Untuk itu pendidikan adalah proses membentuk peserta didik agar
berkembang secara optimal yaitu berkembang setinggi mungkin, sesuai dengan
potensi dan sistem nilai yang dianut dalam masyarakat. Pendidikan bukanlah
proses memaksa, melainkan upaya kehendak menciptakan kondisi yang memberi
kemudah an kepada anak untuk mengemba ngkan dirinya secara optimal.
Berdasarkan pemahaman pendidikan manusia dididik bukan untuk
merusak diri, mencontoh hal-hal buruk, melainkan untuk mengembangkan aspek
intelek tual, sosial, kemampuan yang ber landaskan agama, maka jadilah diri
sendiri, diri yang mempunyai kebudayaan, mempunyai rasa malu dan rasa sosial
terhadapan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar