Jumat, 10 Mei 2013

Pendidikan dan Jati Diri



Pendidikan dan Jati Diri


Oleh:  Dafrizal
(UPT Pendidikan Prasekolah dan SD Kecamatan X Koto Diatas, Kab. Solok.)


Banyak anak muda saat  ini yang mengidolakan tokoh dunia seperti penyanyi, bintang film dan berbagai tokoh terkemuka lainnya. Segala penampilan tokoh itu digemari dan ditiru secara total. Mereka meniru, memirip kan diri atau menyerupai gaya sang idola. Mereka memandang bahwa meniru tokoh idola itu sebagai  suatu kebanggaan dan simbol. Di sisi lain mereka telah lupa dengan dirinya sendiri.
Rias wajah, tatanan rambut , busana, cara berjalan, suara di buat sedemikian rupa agar mendekati tokoh pujaan hati. Bahkan tidak jarang di antara mereka yang membuang biaya cukup mahal sehingga menjadi demi menyerupai pujaan hati tersebut. Mereka adalah para korban mode agar tidak ketinggal an zaman.
Sesungguhnya Tuhan men ciptakan manusia dalam berbagai bentuk yang berbeda sebagai suatu karunia. Tidak pernah ada yang dapat sama sempurna bahkan saudara kembar sekali pun. Perbedaan adalah keunikan, sehingga menjadi suatu yang khas dan tidak dimiliki oleh orang lain. Meniru atau menjadikan diri sebagai orang lain adalah suatu sikap tidak percaya diri dan tidak bersyukur atas nikmat yang diberikan. “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepada mu nikmat yang banyak, maka Shalatlah untuk Tuhanmu dan sembelihlah (hewan Qurban) sesungguhnya orang yang mem bencimu, dialah yang terpisah (dari kebaikan)”.(QS.106-Al-Kautsar : 1 – 3) .
Investasi yang paling penti ng, paling bermakna , paling strategis  dan paling menghasil kan ialah pendidikan yang membangkitkan rasa percaya diri dan menumbuhkan rasa minat untuk perkembangan diri dalam menuju profesional yang ber ketuhanan Yang Maha Esa. “Bukan mencontoh dan bukan meniru untuk merusak diri serta kebudayaan”. Crow and Crow (1960) mengemukakan, harus diyakini bahwa fungsi utama pendidikan adalah bimbingan individu dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginan yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga dia mempe roleh kepuasan dalam seluruh aspek kehidupan pribadi dan kehidupan sosialnya.
Pendapat tersebut meman dang pendidikan bukan hanya pemberi informasi pengetahuan dan pembentukan ketrampilan melainkan lebih luas dari pada itu, meliputi usaha mewujudkan keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup pribadi dan sosial yang memuaskan. Pendi dikan dipandang bukan hanya  sebagai sarana untuk menyiapkan individu bagi kehidupannya di masa datang tetapi juga untuk hari ini dimana mereka  sedang menga lami perkembangan menuju tingkat kedewasaan. Jadi, pada hakekatnya pendidikan memanda ng peserta didik sebagai makhluk yang dikaruniai berbagai potensi oleh penciptanya.
Potensi yang dimiliki oleh peserta didik hanya dapat dikem bangkan jika dia mengintegrasi kan diri dalam kehidupan masya rakat dan mewujudkan tata kehi dupan dan nilai nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. “itulah manusia yang berbudaya dan bukan sebagai pak tiru dan buk tiru”. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan.
“Proses pendidikan adalah proses kebudayaan dan proses kebudayaan adalah proses pendidikan”. Memisahkan pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan masyarakat.
Sunarya Kartadinata (1996) mengemukakan pengertian pendidikan dalam rumusan yang cukup sederhana tetapi penuh makna, yaitu pendidikan adalah proses membawa manusia dari apa  adanya kepada sebagaima na seharusnya. Kondisi apa adanya adalah kondisi peserta didik saat itu, suatu keberadaan anak dengan segala potensi, kemampuan, sifat dan kebiasaan yang dimilikinya. Sedangkan kondisi sebagaimana seharusnya adalah kondisi yang diharapkan terjadi pada diri anak, berupa perubahan perilaku dalam aspek cipta, rasa, karsa dan karya yang berlandaskan dan bermuatan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Pasal 1 (1) dinyatakan pendidikan sebagai “ usaha sadar untuk menciptakan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat bangsa dan negara”.
Untuk itu pendidikan adalah proses membentuk peserta didik agar berkembang secara optimal yaitu berkembang setinggi mungkin, sesuai dengan potensi dan sistem nilai yang dianut dalam masyarakat. Pendidikan bukanlah proses memaksa, melainkan upaya kehendak menciptakan kondisi yang memberi kemudah an kepada anak untuk mengemba ngkan dirinya secara optimal.
Berdasarkan pemahaman pendidikan manusia dididik bukan untuk merusak diri, mencontoh hal-hal buruk, melainkan untuk mengembangkan aspek intelek tual, sosial, kemampuan yang ber landaskan agama, maka jadilah diri sendiri, diri yang mempunyai kebudayaan, mempunyai rasa malu dan rasa sosial terhadapan orang lain.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar