Pendidikan
Masa Hindia Belanda
Pendidikan merupakan modal utama dari banyak bangsa untuk
memerdekakan diri keterpasungan, baik keterpasungan politik, sosial, budaya
maupun dari keterpasungan ekonomi. Warga bangsa yang memiliki pendidikan
apalagi dibalut dengan semangat nasionalisme yang tinggi, maka ia akan mampu
menggiring bangsanya menjadi yang terhebat.
Didorong oleh kepentingan dan kebutuhan kolonialnya, maka pada
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 pemerintah Hindia Belanda (Nederlandsch
Indie) mendirikan sekolah-sekolah bukan saja untuk warga Eropa, tapi juga
buat kaum pribumi. Kebijakan ini terutama muncul saat Jenderal Van Heutz ditunjuk sebagai
Gubernur Jenderal di Indonesia. Adapun tujuannya adalah agar Hindia Belanda
bisa terkuasai dengan baik mulai dari Sabang sampai Merauke. Untuk penguasaan
itu dibutuhkan pegawai pemerintah yang tidak sedikit. Oleh karena itu Van
Heutz sering juga disebut sebagai seorang
“pemersatu” atau “pacificator” bagi seluruh Nederlandsch Indie
(Indonesia).
Kekuasaan militer Belanda harus dibantu dengan pemerintah an
sipil. Oleh karena itu raja-raja dan penguasa Bumi dipaksa menandatangani apa
yang disebut “korte verklaring” atau plakat pendek yang singkat nya
berisi tiga hal yang pokok-pokok yaitu :
1. Raja – raja dan
pengusaha-pengusaha bumiputera (Indonesia) mengaku takluk serta tunduk kepada
kekuasaan Pemerintah Belanda.
2. Raja-raja dan
pengusaha-pengusaha bumiputera tidak boleh lagi mengadakan hubungan dengan
kekuasaan atau negara-negara luar.
3. Raja-raja dan
pengusaha-pengusaha bumiputera harus mematuhi segala perintah dan
peraturan-peraturan yang ditetap kan oleh pemerintah Belanda.
Berdasarkan plakat pendek tersebut, maka sebagaimana yang telah
dikemukakan sebelumnya, untuk membantu menjalankan serta melancarkan
pemerintahan kolonialnya, pemerintah Hindia Belanda sangat membutuhkan
pegawai-pegawai dan tenaga yang terampil serta terdidik. Hal ini juga didorong
oleh para penganjur politik etis, dimana
mereka mendesak Pemerintahan Belanda untuk menempuh garis politik
kolonial yang baru. Para pendukung politik etis itu men desak agar Pemerintah
Belanda menjalankan politik kolonial yang lebih progresif, lebih maju, yang
dikenal dengan nama “ethisch politiek” (politik bersusila).
Kelompok etis yang dipelo pori oleh Mr. Coenrad Theodore Van
Deventer menghimbau pemerintah Belanda memper hatikan tiga hal penting
untuk memajukan rakyat Indonesia yang ketika itu sangat menderita serta melarat
hidupnya akibat pemerasan dan penindasan mereka. Ketiga hal itu adalah: Irigasi
atau pengairan, emigrasi atau pemindahan penduduk dari daerah-daerah yang padat
penduduknya ke daerah yang jarang penduduknya dan edukasi atau pendidikan dan
pengajaran.
Atas dua sebab di atas, maka
pemerintah Hindia Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah. Di dalam
usahanya mendirikan sekolah-sekolah, pemerintah Belanda sangat jelas tetap
menja lankan politik “devide et impera”. Jadi dalam mendirikan
sekolah-sekolah pemerintah Belanda melakukan diskriminasi dan memecah belah
rakyat Indonesia.
Ada dua jenis sekolah yang didirikan oleh Pemerin tah Hindia
Belanda yakni :
1. Sekolah – sekolah yang memakai bahasa Melayu (Bahasa Indonesia)
atau bahasa daerah sebagai bahasa pengantar.
2. Sekolah – sekolah yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar.
Pada akhir abad ke – 19 didirikan sekolah –sekolah Kelas Satu
(Angka Siji) dan Sekolah-sekolah Kelas Dua (Angka Loro). Sekolah kelas satu
didirikan menurut Staats blad tahun 1883. Lama pendidikan di sekolah
kelas satu ini lima tahun. Jika di sekolah kelas satu diperun tukkan bagi
anak-anak pegawai negeri (priyayi) dan anak-anak orang berkedudukan atau anak orang yang mampu, maka sekolah-sekolah
kelas dua membuka pintunya untuk anak-anak kaum jelata. Sekolah Kelas Satu
biasanya didirikan di Ibukota Keresiden an, Ibukota Afdeling, Onderafdeling,
atau ibukota Kabupaten.
Masa Hindia Belanda tanah air Indonesia dibagi-bagi atas
bagian-bagian yang disebut Propinsi yang dikepalai oleh Gubernur, misalnya Proviencie
West Java, Provincie Midden Java, dan Proviencie Oost Java. Ada pula
daerah yang dikepalai oleh seorang Gubernur tetapi daerah itu bukan sebuah
propinsi. Misalnya Gouvernement Oost kust van Sumatra, Gouvernement Atjeh en
Onderhorigheden dan Gouvernement Celebes en Onder horigheden. Setiap
propinsi dibagi atas beberapa keresidenan, misalnya Keresidenan Tapanuli,
Keresidenan Palembang, Keresi denan Ambon. Setiap Keresiden an dikepalai oleh
seorang Resi den. Setiap Keresidenan dibagi lagi atas beberapa Afdeling.
Misalnya Afdeling Pare-Pare, Afdeling Bone. Setiap Afdeling dikepalai oleh
seorang Asisten Residen. Setiap Afdeling dibagi lagi atas beberapa Onderafdeling.
Misalnya Onderafdeling Pinrang, Onderafdeling Maros. Setiap Onderafdeling
dikepalai oleh seorang Controleur atau Civiel Gezaghebber. Orang-orang
Indonesia terdidik yang memiliki loyalitas tinggi terhadap kaum kolonial,
biasanya diangkat sebagai Residen pula.
Yulfi Arwinto, MM.
Guru sejarah SMAN 1 Payung Sekaki Kab. Solok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar