Ujian Nasional Pemikiran Proyek?
Oleh: Taslim Chaniago, S.S.
(Anggota
DPR-RI)
Ujian
Nasional adalah perhelatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
yang sudah usai. Untuk menyelenggarakan perhelatan akbar tersebut negara sudah
merogoh kocek yang cukup besar. Anggaran untuk UN SMP dan SMA sebesar
Rp515.496.127.000. Untuk UN SD Rp127.960.093.000,- Total keseluruh an biaya UN
ini adalah Rp. 643.456. 220.000,- sebuah biaya yang cukup fantastis di negara
yang rakyatnya masih banyak miskin. Perlukah UN itu diadakan?
Kementerian
pendidikan berdalih bahwa perlunya UN dilaksanakan adalah dalam rangka untuk
mengetahui tingkat ketercapaian hasil pendidikan. Di sisi lain UN juga diadakan
dalam rangka untuk pemetaan pendidikan nasional. Malah dalam suatu wawancara
Menteri M. Nuh pernah mengatakan bahwa UN dijadikan sebagai standar kelulusan
siswa.
Ini
sebuah ironi, betapa penyelenggara an pendidikan yang tidak merata ini,
diadakan sebuah ukuran yang disamara takan. Anak-anak pejabat dan pengusaha
yang dilimpahi dengan fasilitas serba
hebat dan diberi pendidik yang hebat-hebat pula harus disamakan ujiannya dengan
anak-anak petani di desa, anak-anak buruh pabrik dan kebun, dan anak-anak
pemulung di pemukiman kumuh. Bagaimana anak-anak desa yang bersahaja yang belum
tersentuh kemajuan harus disandingkan UN-nya dengan anak-anak kota yang
bermandikan kemajuan dan teknologi. Bagaimana anak-anak orang kampung yang
untuk ke sekolah harus berjalan kaki turun naik bukit sekian kilo meter tanpa
pakai sandal dan sepatu harus disandingkan dengan anak-anak orang berpunya yang
ke sekolah di antar dengan mobil-mobil mewah oleh para pembantunya. Sekali lagi
ini adalah sebuah ironi.
Di
sisi lain fasilitas pendidikan yang belum merata antara pusat kesibukan
(kota-kota besar) dengan desa-desa terpencil adalah bentuk kesenjangan yang
mesti diperhatikan pemerintah sebelum jatuh pada kebijakan untuk menyamaratan
UN untuk semua anak-anak Indonesia.
Pemerintah
mungkin bisa berdalih, bahwa ujian yang dilaksanakan di banyak daerah di
Indonesia berbeda antara satu dengan lainnya. Apakah standar perbedaan yang
dijadikan pemerintah sebagai patokan? Apakah pemerintah benar-benar sudah
memetakan pemerataan penyebaran fasilitas pendidikan di seluruh Indonesia?
Hal
tersebut belum termasuk masalah pemerataan penyebaran para pendidik. Banyak
daerah-daerah pelosok atau daerah pinggiran yang tidak memiliki guru-guru
handal. Malah ada sebuah sekolah dasar (SD) yang mulai dari tukang sapu, guru
berbagai mata pelajaran serta kepala sekolah sekaligus dijabat oleh orang yang
sama. Daerahnya yang terpencil menjadi sebab semua ini. Namun apakah pemerintah
memperhatikan guru serta anak-anak ini? Bagaimana peningkatan guru-guru yang
seperti ini? Selama ini yang terjadi adalah yang “dakek tungku” juga yang masak
duluan dan memperoleh kehangatan lebih. Sementara mereka yang berada di
pinggir atau jauh dari komunikasi tetap
tertinggal dan kedinginan. Mengapa UN
harus juga dilaksanakan?
Di
bagian lain ketidakjujuran yang terjadi selama UN diselenggarakan bukan jadi
rahasia lagi. Dalam suatu pembicaraan santai antara saya dengan beberapa orang
mahasiswa di beberapa daerah, terungkap bahwa mereka dalam UN diberikan bantuan
berupa kunci jawaban. Entah siapa yang memberikan kunci tidak perlu ditelusuri
lebih jauh di sini. Kecurangan itu terus saja berjalan tiada henti sampai UN
kemarin. Pemerintah bukan tidak tahu, tapi seperti terkesan membiarkan atau merestui
kecurangan itu tetap terjadi. Keberadaan polisi dan petugas perbantuan dari
pihak lain sepertinya hanya semacam formalitas saja, agar ada kesan bahwa
pemerintah memang serius menyelenggarakan UN.
Permasalahan
sekarang adalah generasi masa depan yang seperti apa yang hendak diciptakan
oleh pemerintah? Berpijak dari kecurangan yang seakan “ditolerir” tersebut,
apakah pemerintah hendak menghasilkan generasi masa depan yang tak jujur?
Jawabannya akan terlihat sekitar dua puluh atau tiga puluh ke depan.
Di
bagian lain ambisi besar pemerintah yang terus menyelenggarakan UN dan bahkan
menjadikannya lebih tersentralisasi, tidak dibarengi dengan sumber daya dan
peralatan yang memadai. 11 provinsi mengalami keterlambatan dalam penyeleng
garan UN yang rencananya akan serentak untuk seluruh Indonesia. Puluhan sekolah
terpaksa harus mengkopi soal dan lembar jawaban ujian agar anak-anak mereka
dapat mengikut alek nasional tersebut. Apakah kertas ujian yang buruk serta
sistem kerja yang terkesan dikebut tersebut, adalah bentuk keseriusan
pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan para pemimpin Indonesia masa
depan? Pemimpin yang seperti apa yang akan dihasilkan dengan pola kerja yang
seperti ini? Saya khawatir jangan-jangan penyelenggaraan UN ini hanyalah salah satu
bentuk pemikiran proyek di kalangan pemerintah. Oleh karena itu saya sangat
setuju bila KPK dan juga BPK berinisiatif mengaudit penyelenggaraan Ujian Nasional tingkat
pendidikan dasar dan menengah 2013. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar