Jumat, 10 Mei 2013

Ujian Nasional Pemikiran Proyek?



Ujian Nasional Pemikiran Proyek?

Oleh: Taslim Chaniago, S.S.
(Anggota DPR-RI)



Ujian Nasional adalah perhelatan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang sudah usai. Untuk menyelenggarakan perhelatan akbar tersebut negara sudah merogoh kocek yang cukup besar. Anggaran untuk UN SMP dan SMA sebesar Rp515.496.127.000. Untuk UN SD Rp127.960.093.000,- Total keseluruh an biaya UN ini adalah Rp. 643.456. 220.000,- sebuah biaya yang cukup fantastis di negara yang rakyatnya masih banyak miskin. Perlukah UN itu diadakan?
Kementerian pendidikan berdalih bahwa perlunya UN dilaksanakan adalah dalam rangka untuk mengetahui tingkat ketercapaian hasil pendidikan. Di sisi lain UN juga diadakan dalam rangka untuk pemetaan pendidikan nasional. Malah dalam suatu wawancara Menteri M. Nuh pernah mengatakan bahwa UN dijadikan sebagai standar kelulusan siswa.
Ini sebuah ironi, betapa penyelenggara an pendidikan yang tidak merata ini, diadakan sebuah ukuran yang disamara takan. Anak-anak pejabat dan pengusaha yang dilimpahi dengan fasilitas  serba hebat dan diberi pendidik yang hebat-hebat pula harus disamakan ujiannya dengan anak-anak petani di desa, anak-anak buruh pabrik dan kebun, dan anak-anak pemulung di pemukiman kumuh. Bagaimana anak-anak desa yang bersahaja yang belum tersentuh kemajuan harus disandingkan UN-nya dengan anak-anak kota yang bermandikan kemajuan dan teknologi. Bagaimana anak-anak orang kampung yang untuk ke sekolah harus berjalan kaki turun naik bukit sekian kilo meter tanpa pakai sandal dan sepatu harus disandingkan dengan anak-anak orang berpunya yang ke sekolah di antar dengan mobil-mobil mewah oleh para pembantunya. Sekali lagi ini adalah sebuah ironi.
Di sisi lain fasilitas pendidikan yang belum merata antara pusat kesibukan (kota-kota besar) dengan desa-desa terpencil adalah bentuk kesenjangan yang mesti diperhatikan pemerintah sebelum jatuh pada kebijakan untuk menyamaratan UN untuk semua anak-anak Indonesia.
Pemerintah mungkin bisa berdalih, bahwa ujian yang dilaksanakan di banyak daerah di Indonesia berbeda antara satu dengan lainnya. Apakah standar perbedaan yang dijadikan pemerintah sebagai patokan? Apakah pemerintah benar-benar sudah memetakan pemerataan penyebaran fasilitas pendidikan di seluruh Indonesia?
Hal tersebut belum termasuk masalah pemerataan penyebaran para pendidik. Banyak daerah-daerah pelosok atau daerah pinggiran yang tidak memiliki guru-guru handal. Malah ada sebuah sekolah dasar (SD) yang mulai dari tukang sapu, guru berbagai mata pelajaran serta kepala sekolah sekaligus dijabat oleh orang yang sama. Daerahnya yang terpencil menjadi sebab semua ini. Namun apakah pemerintah memperhatikan guru serta anak-anak ini? Bagaimana peningkatan guru-guru yang seperti ini? Selama ini yang terjadi adalah yang “dakek tungku” juga yang masak duluan dan memperoleh kehangatan lebih. Sementara mereka yang berada di pinggir  atau jauh dari komunikasi tetap tertinggal dan kedinginan.  Mengapa UN harus juga dilaksanakan?
Di bagian lain ketidakjujuran yang terjadi selama UN diselenggarakan bukan jadi rahasia lagi. Dalam suatu pembicaraan santai antara saya dengan beberapa orang mahasiswa di beberapa daerah, terungkap bahwa mereka dalam UN diberikan bantuan berupa kunci jawaban. Entah siapa yang memberikan kunci tidak perlu ditelusuri lebih jauh di sini. Kecurangan itu terus saja berjalan tiada henti sampai UN kemarin. Pemerintah bukan tidak tahu, tapi seperti terkesan membiarkan atau merestui kecurangan itu tetap terjadi. Keberadaan polisi dan petugas perbantuan dari pihak lain sepertinya hanya semacam formalitas saja, agar ada kesan bahwa pemerintah memang serius menyelenggarakan UN.
Permasalahan sekarang adalah generasi masa depan yang seperti apa yang hendak diciptakan oleh pemerintah? Berpijak dari kecurangan yang seakan “ditolerir” tersebut, apakah pemerintah hendak menghasilkan generasi masa depan yang tak jujur? Jawabannya akan terlihat sekitar dua puluh atau tiga puluh ke depan.
Di bagian lain ambisi besar pemerintah yang terus menyelenggarakan UN dan bahkan menjadikannya lebih tersentralisasi, tidak dibarengi dengan sumber daya dan peralatan yang memadai. 11 provinsi mengalami keterlambatan dalam penyeleng garan UN yang rencananya akan serentak untuk seluruh Indonesia. Puluhan sekolah terpaksa harus mengkopi soal dan lembar jawaban ujian agar anak-anak mereka dapat mengikut alek nasional tersebut. Apakah kertas ujian yang buruk serta sistem kerja yang terkesan dikebut tersebut, adalah bentuk keseriusan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan para pemimpin Indonesia masa depan? Pemimpin yang seperti apa yang akan dihasilkan dengan pola kerja yang seperti ini? Saya khawatir jangan-jangan penyelenggaraan UN ini hanyalah salah satu bentuk pemikiran proyek di kalangan pemerintah. Oleh karena itu saya sangat setuju bila KPK dan juga BPK berinisiatif mengaudit  penyelenggaraan Ujian Nasional tingkat pendidikan dasar dan menengah 2013. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar