Jumat, 02 Mei 2014

Marie Antoinette, Sebuah Awal Kehancuran Kerajaan Prancis

Banyak orang mengatakan bahwa kehancuran Kerajaan Prancis terjadi setelah  runtuhnya penjara Bastille. Padahal kehancuran kerajaan tersebut sebenarnya telah dimulai dari dalam istana Versailles.

Tidak banyak orang yang tahu tentang Marie Antoinette. Kisahnyapun dalam buku pelajaran sejarah sangat sedikit dibicarakan. Padahal sebenarnya kehadiran Marie Antoinette dalam keruntuhan Kerajaan Prancis tidak sedikit. 
Marie Antoinette adalah seorang Putri Bangsawan dari Austria. Ia menikahi Raja Louis XVI dari Prancis yang ketika itu belum naik takhta. Saat menikah, Antoinette berusia 14 tahun, sedangkan Raja Louis berusia 15 tahun. Ketika ayahnya, Raja Austria, baru saja meninggal dunia, ibunya, Maria Theresa, memutus kan menikahkan putri-putrinya dengan bangsawan-bangsawan dari negara-negara lain. Tujuannya ialah mempertahankan tradisi kebangsawanan mereka. Antoinette dijodohkan dengan Louis XVI demi memperbaiki hubungan Austria-Prancis. Raja Louis XV, ayah Louis XVI, meninggal dunia karena penyakit cacar air yang saat itu belum terdapat obatnya.
Setelah meninggalnya Louis XV, maka pada usia 20 tahun, Louis XVI sudah menjadi raja. Marie Antoinette tentu saja menjadi Ratu Prancis. Selama menjadi Ratu Prancis, Marie Antoinette terkenal suka bersenang-senang. Ia sering berbelanja banyak baju, sepatu, dan perhiasan serta perlengkapan lainnya. Hobinya mengoleksi baju dan aksesori wanita diduga merupakan asal mula Prancis disebut sebagai kota fesyen. Karena hobinya yang boros tersebut, rakyat Prancis menjulukinya ia sebagai Madame Deficit.
Rakyat Prancis sangat marah kepada Marie Antoinette yang diduga telah membuat Prancis miskin. Warga Prancis meman–dang Marie Antoinette sebagai ningrat yang suka berfoya-foya terutama di istana Trianon serta berhura-hura hingga fajar tiba. Ia adalah seorang yang sangt dangkal, lemah, ang–kuh, self-indulgent, tidak suka politik, tidak suka membaca, tak pernah selesai membaca surat dan lain-lainnya menjadi ciri yang menempel pada Ratu Prancis tersebut yang mulai tinggal di Istana Versailles sejak umur 14 tahun.
Kebiasaan buruk dari Marie Antoinette ini merupakan awal kehancuran dari kera–jaan Prancis sebelum rakyat menyerbu penjara Bastille. Louis XVI tidak bisa meng–endalian perangai buruk Antoinette. Ia justru lebih dikenal sebagai seorang raja yang lemah, selalu ragu-ragu, sulit mengambil keputusan, terlalu baik dan lain-lain. Dengan karakhter yang seperti itu, maka Louis XVI  ikut mempercepat dan menam bah berat merajalelnya kebobrokan istana. Para pejabat istana berlomba mencari peluang karir di depan Louis XVI, atau mengadu domba di depan Antoinette.
Stefan Zweig seorang penulis buku berjudul Marie Antoinette, The Portrait of an Average Woman sebagian menutur kan Marie Antoinette dari sisi kejiwaan. Karakter dan kejiwaan yang disampaikan Zweig mengangkat emosi perempuan biasa, meski–pun ia seorang ratu. Akan tetapi titel pengkhianat yang sudah menempel seperti lepas atas riset Zweig yang mengangkat sisi baik Antoinette di beberapa tahun terakhirnya sebelum dihukum mati. Bahkan sejak buku tersebut terbit pandangan masyarakat dunia mulai bergeser, terutama terhadap kasih sayang kepada keluarga, konsistensi, keberanian dan keteguhannya memegang prinsip, dan menghadapi kematian.
“Louis XVI and Marie Antoinette have often been portrayed as weak and vacillating. Far from it; their policy between 1789 and 1792 was entirely consistent, and highly conservative. They were prepared to die for their beliefs, and ultimately did so.”
Memang terlambat Antoinette mengubah sikap hura-huranya. Kelahiran anaknya, terutama yang menjadi dauphin (ahli waris mahkota) membuat ia mengurangi kesenangannya, mencoba mema–hami situasi politik yang sedang terjadi, membaca surat-surat kerajaan lebih seksama, bahkan membaca buku. Namun situasi politik sudah berubah, Bastille sudah runtuh, istana sudah lumpuh, kaum borjuis meneriak–kan kebebasan, kaum proletar meneriakkan revolusi, rakyat kelaparan. Bahkan Austria pun tak mungkin menyelamatkan dirinya, ia hanya seorang wanita dan jika diselamatkan pun hanya akan merusak hubungan politik Prancis-Austria, juga Revolusi Prancis telah menyatakan perang kepada Austria.
Sejak Dewan Nasional didirikan setahun setelah Bastille runtuh, monarki harus menerima pembatasan kekuasaannya. Versailles pun akhirnya dijaga jenderal revolusi Lafayette, yang juga membantu Revolusi Ameri–ka. Tahun berikutnya pada bulan Juni 1791 Louis XVI dan Antoi–nette kabur ke Varennes dengan bantuan seorang ningrat Swedia, Axel von Fersen, seorang teman dekat Antoinette yang juga menjadi gunjingan publik. Namun usaha kabur dari istana Versailles tersebut gagal, dan akhirnya ia dipenjara di Temple menunggu pengadilan.
Kerabat dan sahabat Antoinet–te masih berusaha membebaskan raja dan ratu serta anak-anaknya dari Temple. Namun usaha tersebut malah membuat Antoinette semakin sendirian. Satu persatu yang dicurigai membantu tawanan revolusi disingkirkan, bahkan dibunuh secara brutal. Hingga akhirnya para tawanan penting revolusi dipindahkan ke penjara Conciergerie.
Sidang yang melelahkan selama belasan jam mencoba mengungkap kasus-kasus istana, terutama kasus kalung berlian yang melibatkan Antoinette, Madame du Barry dan kardinal de Rohan. Yang lebih penting lagi sidang-sidang pengadilan yang diikuti Antoinette sebagai terdak–wa berkaitan dengan pengkhia–natan terhadap revolusi. Zweig menuturkan Antoinette yang lemah fisik di penjara tetap terlihat tegar dan berani, berbicara layak–nya seorang ningrat dan berdiplo–masi terhadap semua tuntutan-tuntutan revolusi. Layaknya seorang wanita biasa, seorang ibu, Antoinette hanya memikirkan kondisi anak-anaknya dan keluarga terdekatnya.
Namun Mahkamah Revolusi sudah menyatakan Antoinette bersalah dan harus dihukum mati, jauh sebelum pengadilan yang melelahkan tersebut terjadi. Sebab jika tidak, para hakim, penuntut dan semua yang membela Antoinette yang akan menghadapi pisau Guillotine.
Malam hari sebelum Antoinette menuju mimbar hukuman mati di Place de la Concorde, ia menulis surat untuk saudara-saudaranya atas bantuan sipir penjara yang menyediakan pena, tinta dan kertas secara sembunyi-sembunyi.
“16 Oktober, pukul empat tiga puluh pagi. Ini adalah suratku yang terakhir kepadamu, Dik. Baru saja aku dijatuhi hukuman mati. Tetapi bukan kematian yang memalukan, sebab mati yang memalukan itu hanya karena kejahatan, sedang aku pergi hendak menyusul saudara–mu. Seperti dia, aku pun tidak bersalah, aku ingin memperlihat–kan keteguhan hatiku yang juga telah diperlihatkannya pada akhir hayatnya itu…”
Di akhir suratnya Antoinette menyatakan mengampuni musuh-musuh yang berbuat jahat kepadanya, serta berpesan agar anak-anaknya tidak diajari dendam terhadap kematiannya. Surat tersebut diakhiri tiba-tiba, tanpa tanda tangan. Ia sudah terlalu letih. Surat tersebut dititipkan kepada kepala penjara. Baru 20 tahun lebih berikutnya surat tersebut terbuka, namun orang-orang yang tertulis di surat tersebut juga sudah tiada, termasuk ahli waris mahkota, Louis XVII. Sungguh tragis. Siapa pula yang menyangka keluarga ningrat Bourbon ternyata naik tahta kembali setelah Emperor Napoleon Bonaparte turun tahta, Louis XVIII memerintah Prancis walau sulit untuk menghilangkan semangat republik.
Dan revolusi pun terus berjalan. Prancis terus menikmati hari-hari kedepannya untuk beberapa waktu dalam kancah revolusi yang melelahkan.
Lima tahun setelah Zweig menulis biografi Antoinette, MGM meluncurkan film Marie Antoinette (1938) yang diperan–kan oleh Norma Shearer. o Syamdani

Tidak ada komentar:

Posting Komentar