Oleh : Syamdani
Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia adalah
sebuah peristiwa yang belum usai. Bila dilihat lebih dalam, sebenarnya
peristiwa itu masih merupakan peristiwa politik. Akan tetapi karena terpaut
oleh konsep waktu bahwa peristiwa itu telah terjadi, maka Gerakan 30 S /PKI
masuk dalam kajian sejarah.
Sebagai
sebuah sejarah yang belum usai, sebenarnya sulit untuk menyatakan bahwa salah satu pihak yang
terduga sebagai yang disalahkan. Kecuali bila ada kebebasan untuk menelaah
lebih dalam dengan ketersediaan arsip-arsip secara bebas tentang peristiwa tersebut,
maka penelaah tentang siapa sebagai dalang peristiwa akan bisa diungkap.
Meskipun
demikian, walaupun dalam sejarah sebaiknya unsur subyektifitas harus
dihindarkan, namun unsur subyektifitas itu bukan sesuatu yang bisa dihindarkan.
Kalaupun dipaksakan untuk menghindarkan unsur subyektifitas, maka akan ada
bekas-bekas luka yang kembali menganga dan mengeluarkan darah. Akan ada
bagian-bagian yang tersayat karena tergores oleh pisau kebenaran. Akan
terdengar tangisan kepedihan meraung-raung, dideru oleh suara kebenaran
tersebut. Sudahkah semua siap untuk menerima?
Mengingat
banyaknya orang-orang yang terluka, maka terlalu elok ternyata bila sejarawan Indonesia kemudian
membungkamkan diri untuk membuka luka masa lalu. Meskipun sebagian orang tengah
pesakitan selama lebih dari 46 tahun menderita akibat kebungkaman tersebut. 32
tahun selama Orde Baru mereka dikucilkan di tengah lingkungan sosialnya.
Padahal mereka adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang masa lalu.
Kakek-kakek merekapun sebagian adalah orang-orang yang tidak mengerti dengan
politik, disebabkan oleh enaknya rayuan dengan sebuah hadiah berupa cangkul
atau sabit, lantas ditorehkan namanya sebagai anggota “kuminih”. Lantas ketika
“pembersihan” terjadi, maka merekapun terkena gusur di tengah masyarakat yang
dulunya sangat akrab dengan mereka. Memakai istilah keadilan sebagaimana yang
dituntut Soekarno dalam Pelnawaksaranya, maka anak-anak petani yang kakeknya
menerima hadiah cangkul itupun sebenarnya ingin mengatakan ; “Kalau bicara tentang
“Kebenaran dan Keadilan” maka kami pun minta “Kebenaran dan Keadilan”.
Dalam
agama tidak ada istilah dosa warisan. Setiap orang yang berbuat dosa harus
mempertanggungjawabkan dosanya sendiri di hadapan Tuhan. Akan tetapi di
Indonesia dosa bisa diwariskan kepada orang-orang sesudahnya. Dosa kakek bisa
diwariskan kepada anaknya dan selanjutnya bila tidak selesai diwariskan kepada
cucu dan cicit-cicitnya. Tampaknya hukum di Indonesia lebih hebat daripada
hukum Tuhan.
Sejarahpun
tampaknya harus membantu agar dosa masa lalu bisa dengan pasti terwariskan.
Salah satu bentuk sumbangan sejarah dalam hal ini adalah menuliskan dengan rapi
dalam buku pengetahuannya, dalam lembar-lembar buku paketnya dan banyak lagi
jalur yang ditempuh untuk itu. Sebagai bukti konkrit dalam hal ini adalah
lahirlah berbagai buku putih tentang peristiwa 30 September 1965 itu. Anehnya
buku putih itu sebagian ternyata
berusaha untuk memutihkan tindakan orang-orang tertentu oleh para penulisnya. sebagai imbalan atas
pemutihan tersebut adalah sang penulis menerima imbalan berupa dana atau bentuk lainnya. Di sisi lain peristiwa sendiri tetap kelam
atau kelabu. Tidak ada buku putih yang benar-benar putih tentang peristiwa itu.
Masing-masing pihak merasa benar sendiri. Sementara orang lain-lain adalah para
pesakitan yang terus diusahakan untuk dipersalahkan.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar