Minggu, 25 Mei 2014

G 30 S/PKI Sebuah Genosida



Oleh : Syamdani


Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia adalah sebuah peristiwa yang belum usai. Bila dilihat lebih dalam, sebenarnya peristiwa itu masih merupakan peristiwa politik. Akan tetapi karena terpaut oleh konsep waktu bahwa peristiwa itu telah terjadi, maka Gerakan 30 S /PKI masuk dalam kajian sejarah.
Sebagai sebuah sejarah yang belum usai, sebenarnya sulit  untuk menyatakan bahwa salah satu pihak yang terduga sebagai yang disalahkan. Kecuali bila ada kebebasan untuk menelaah lebih dalam dengan ketersediaan arsip-arsip secara bebas tentang peristiwa tersebut, maka penelaah tentang siapa sebagai dalang peristiwa akan bisa diungkap.
Meskipun demikian, walaupun dalam sejarah sebaiknya unsur subyektifitas harus dihindarkan, namun unsur subyektifitas itu bukan sesuatu yang bisa dihindarkan. Kalaupun dipaksakan untuk menghindarkan unsur subyektifitas, maka akan ada bekas-bekas luka yang kembali menganga dan mengeluarkan darah. Akan ada bagian-bagian yang tersayat karena tergores oleh pisau kebenaran. Akan terdengar tangisan kepedihan meraung-raung, dideru oleh suara kebenaran tersebut. Sudahkah semua siap untuk menerima?
Mengingat banyaknya orang-orang yang terluka, maka terlalu elok  ternyata bila sejarawan Indonesia kemudian membungkamkan diri untuk membuka luka masa lalu. Meskipun sebagian orang tengah pesakitan selama lebih dari 46 tahun menderita akibat kebungkaman tersebut. 32 tahun selama Orde Baru mereka dikucilkan di tengah lingkungan sosialnya. Padahal mereka adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang masa lalu. Kakek-kakek merekapun sebagian adalah orang-orang yang tidak mengerti dengan politik, disebabkan oleh enaknya rayuan dengan sebuah hadiah berupa cangkul atau sabit, lantas ditorehkan namanya sebagai anggota “kuminih”. Lantas ketika “pembersihan” terjadi, maka merekapun terkena gusur di tengah masyarakat yang dulunya sangat akrab dengan mereka. Memakai istilah keadilan sebagaimana yang dituntut Soekarno dalam Pelnawaksaranya, maka anak-anak petani yang kakeknya menerima hadiah cangkul itupun sebenarnya ingin mengatakan ; “Kalau bicara tentang “Kebenaran dan Keadilan” maka kami pun minta “Kebenaran dan Keadilan”.
Dalam agama tidak ada istilah dosa warisan. Setiap orang yang berbuat dosa harus mempertanggungjawabkan dosanya sendiri di hadapan Tuhan. Akan tetapi di Indonesia dosa bisa diwariskan kepada orang-orang sesudahnya. Dosa kakek bisa diwariskan kepada anaknya dan selanjutnya bila tidak selesai diwariskan kepada cucu dan cicit-cicitnya. Tampaknya hukum di Indonesia lebih hebat daripada hukum Tuhan.
Sejarahpun tampaknya harus membantu agar dosa masa lalu bisa dengan pasti terwariskan. Salah satu bentuk sumbangan sejarah dalam hal ini adalah menuliskan dengan rapi dalam buku pengetahuannya, dalam lembar-lembar buku paketnya dan banyak lagi jalur yang ditempuh untuk itu. Sebagai bukti konkrit dalam hal ini adalah lahirlah berbagai buku putih tentang peristiwa 30 September 1965 itu. Anehnya buku putih itu sebagian ternyata  berusaha untuk memutihkan tindakan orang-orang tertentu  oleh para penulisnya. sebagai imbalan atas pemutihan tersebut adalah sang penulis menerima imbalan berupa dana  atau bentuk lainnya.  Di sisi lain peristiwa sendiri tetap kelam atau kelabu. Tidak ada buku putih yang benar-benar putih tentang peristiwa itu. Masing-masing pihak merasa benar sendiri. Sementara orang lain-lain adalah para pesakitan yang terus diusahakan untuk dipersalahkan.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar