Resensiator: Hazel Khalifaturrahman
Bicara sosok Tan Malaka, sangat menyentuh jiwa-jiwa nasionalisme anak muda Indonesia terutama yang kenal tentang tokoh ini. Betapa tidak, sebagai seorang anak muda di zamannya, Tan Malaka tidak memainkan peran yang kecil dalam sejarah awal Indonesia. Ia terlibat secara aktif dalam membangun konsep Indonesia. Ia terlibat pula dalam pergumulan politik dalam membangun Nation State yang bernama Indonesia. Satu hal yang pokok dari seorang Tan Malaka adalah keterlibatannya secara langsung dalam dunia pendidikan di Indonesia. Bagi Tan Malaka pendidikan merupakan salah satu senjata yang bisa untuk menjungkalkan kekuasaan kolonial dari negeri nusantara.
Tan Malaka dengan konsep pendidikannya memperlihatkan bahwa ia bukan sekedar seorang teoritikus, melainkan juga seorang yang praktis. Ia mendirikan seokolah buat kaum kromo yang tidak memperoleh kesempatan bersekolah di sekolah-sekolah kolonial waktu. Ia terlibat aktif dalam mencerdaskan kehidupan anak bangsa yang terjajah.
Di tengah incaran senjata pihak kolonial yang siap menunggu di depan jeruji besi lengkap dengan para opas dan sipir penjaranya, Tan Malaka tetap saja mencuri waktunya untuk mendidik anak bangsanya. Pada akhirnya ia benar-benar membuat pihak kolonial menjadi jengah. Satu-satunya jalan yang bisa ditempuh oleh pejabat kolonial adalah mengkerangkeng tokoh yang kemudian melegenda tersebut.
Buku ini sangat menarik karena mensarikan pemikian tokoh Tan Malaka dengan begitu apik. Kajian pemikiran Tan Malaka tentang pendidikan oleh penulis buku ini diperkaya dengan beberapa teori dari ahli pendidikan. Oleh karena itu buku ini sangat menarik, asyik dan layak dijadikan sebagai referensi.***
Jumat, 06 Juni 2014
Minggu, 25 Mei 2014
Jelajahi Samudera Selamatkan Kehidupan
Oleh : Syamdani |
Selama masa perdagangan jalur Sutra, Eropa sudah terbiasa untuk
menikmati rempah-rempah dari Asia. Bangsa yng mereka kenal sebagai penghasil
rempah-rempah tersebut adalah India, karena memang selama perdagangan rempah,
mereka umumnya lebih banyak menjalin hubungan dengan pedagang dari India. Akan
tetapi setelah meletusnya perang Salib, maka bangsa Eropa sulit untuk
mendapatkan rempah-rempah dari Asia tersebut, karena pusat jalur perdagangan rempah di Mediterania dikuasai
oleh penguasa Islam Turki. Satu-satunya cara untuk mendapatkan rempah-rempah
adalah menemukan sendiri daerah penghasil rempah-rempah tersebut yaitu India.
Ada beberapa tantangan yang harus mereka lalui yaitu pertama,
mereka tidak mengetahui dimana India terletak. Kedua, mereka harus berhadapan
dengan pendapat yang mengatakan bahwa bumi bukan bulat seperti bola, melainkan
datar menyerupai kubus. Bila mereka melalukan perjal anan atau pelayaran yang
terlalu jauh, maka mereka akan sampai diujung dunia, dimana di sana terdapat
jurang yang dalam dan neraka. Ketiga mereka juga dihadapkan dengan teori
geosentris yang selama ini berkembang di Eropa.
Teori Geosentris adalah teori yang mengatakan bahwa bumi adalah
pusat tata surya. Teori ini kemudian dibantah oleh Copernicus yang mengatakan
bahwa bumi bukan pusat tata surya melainkan mataharilah yang menjadi pusat
tata surya. Sedangkan bumi bergerak
berputar mengelilingi matahari. Teori yang dikemukakan oleh Copernicus tersebut
dikenal dengan teori Heliosentris
(matahari pusat tata surya).
Pendapat Copernicus ini kemudian didukung oleh ahli lain bernama
Galileo Galilei. Galileo dengan menggunakan teleskop ciptaannya yang lebih
baik, berhasil membuktikan perjalanan benda-benda langit. Dengan mengamati
perjalanan benda-benda langit itu, Galileo sampai pada kesimpulan bahwa memang
mataharilah yang menjadi pusat tata surya dan bukan bumi.
Ketergantungan dengan rempah-rempah bangsa Asia, membuat bangsa
Eropa melawan maut sebagai martir untuk segera menemukan pusat rempah Asia.
Berbagai halangan yang ditemukan secara teori harus mereka tundukan. Mereka
mencoba untuk membuktikan teori gereja yang selama ini berkembang tentang bumi.
Itu semua mereka lakukan untuk menyelamatkan kehidupan. Mereka memberanikan
diri keluar daratan Eropa, mengarungi lautan lepas dan menghadang maut. Sejak
itu, satu demi satu daerah mereka temukan di luar Eropa. Masa menemukan daerah
di luar Eropa itu dikenal juga dengan “abad penemuan”.
Saat Vasco da Gama berlayar
melalui Tanjung Harapan untuk mencapai India di tahun 1498, Portugis
mengarahkan usaha mereka ke selatan dan timur. Spanyol, yang sepakat membagi
dua dunia ini dengan Portugis dalam Perjanjian Tordesillas pada tanggal 7 Juni
1494, berlayar ke arah barat. Saat itu mereka tidak menyadari akan adanya Benua
Amerika dan tidak seorang pun tahu tentang Samudera Pasifik.
Christhopher Columbus (1451-1506), seorang Italia yang hijrah ke
Spanyol, berteori bahwa karena bumi bulat, sebuah kapal laut dapat mencapai
Timur Jauh dari arah yang berbeda. Dia meyakinkan kerajaan untuk membiayai
pencariannya lalu berangkat berlayar pada Agustus 1492. Setelah sepuluh minggu,
dia melihat sebuah pulau di Bahamas, yang dinamainya San Salvador. Karena
berpikir telah menemukan pulau dekat Jepang, dia berlayar terus sampai mencapai
Kuba (yang disangka Cina) dan Haiti. Dia bertemu dengan penduduk berkulit gelap
yang dia sebut “Indian” karena dia berpikir dia sedang berlayar di Lautan
Hindia.
Columbus melakukan tiga perjalanan lagi ke Dunia Baru yang dia
pikir adalah Timur, di tahun 1493, 1497 dan 1502, melalui Puerto Riko,
Kepulauan Virgin, Jamaika dan Trinidad. Columbus sendiri tidak pernah mencapai
Amerika Utara, dan sampai saat wafatnya, tetap berpikir bahwa dia telah
mencapai Asia.
Amerika
Utara ditemukan
Sebelum orang-orang Spanyol di bawah pimpinan Colombus sampai ke Amerika, bangsa Viking
sudah lebih dulu mencapai Amerika. Kapal-kapal Bangsa Viking telah mencapai
Amerika Utara hampir 500 tahun sebelumnya. Bangsa Viking berlayar dari Pulau Es
pada pertengahan tahun 990. Biarni Heriolfsson merubah haluan arah semula dan
terdampar di daerah tak bertuan. Dia tidak menjelajahi ataupun menamai daerah
daratan tersebut. Pada tahun 1002, Leifr Eiriksson menelusuri jalur yang sama
tapi dengan arah berlawanan dan mencapai pantai yang sekarang disebut Kanada.
Kemudian dia berlayar lagi ke arah selatan dan menemukan sebuah pulau yang
dinamai Vinland (Newfoundland-sekarang) di mana dia membangun pemukiman dan
berdagang selama 3 tahun dengan penduduk asli yang dikenal sebagai Bangsa
Skraeling. Pada akhirnya Bangsa Skraeling memaksa mereka untuk pergi, tetapi
Bangsa Viking tetap berlayar menuju Kanada untuk mencari hasil hutan.
Di tahun 1497, Raja Henry ke VII menyetujui penjelajahan John
Cabot (1450-1498). Pada tanggal 2 Mei, Cabot dengan 18 awaknya meninggalkan
Bristol, Inggris dengan menggunakan sebuah kapal kecil dengan nama Matthew. Dia
berlayar lebih jauh ke Utara dari pada yang dilakukan oleh Columbus, jauh
diluar wilayah kekuasaan Spanyol. Pada tanggal 24 Juni, para awak melihat
daratan. Cabot diyakinkan telah menemukan sebuah pulau di lepas pantai Asia dan
menamakannya “new found land”. Itu adalah pendaratan pertama di Newfoundland
yang didokumentasikan sejak penjelajahan Bangsa Viking. Cabot kembali ke
Inggris pada tanggal 6 Agustus 1497, dan meskipun dia tidak membawa
rempah-rempah maupun harta karun, dia adalah orang pertama yang memetakan
Pantai Amerika Utara.***
G 30 S/PKI Sebuah Genosida
Oleh : Syamdani
Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia adalah
sebuah peristiwa yang belum usai. Bila dilihat lebih dalam, sebenarnya
peristiwa itu masih merupakan peristiwa politik. Akan tetapi karena terpaut
oleh konsep waktu bahwa peristiwa itu telah terjadi, maka Gerakan 30 S /PKI
masuk dalam kajian sejarah.
Sebagai
sebuah sejarah yang belum usai, sebenarnya sulit untuk menyatakan bahwa salah satu pihak yang
terduga sebagai yang disalahkan. Kecuali bila ada kebebasan untuk menelaah
lebih dalam dengan ketersediaan arsip-arsip secara bebas tentang peristiwa tersebut,
maka penelaah tentang siapa sebagai dalang peristiwa akan bisa diungkap.
Meskipun
demikian, walaupun dalam sejarah sebaiknya unsur subyektifitas harus
dihindarkan, namun unsur subyektifitas itu bukan sesuatu yang bisa dihindarkan.
Kalaupun dipaksakan untuk menghindarkan unsur subyektifitas, maka akan ada
bekas-bekas luka yang kembali menganga dan mengeluarkan darah. Akan ada
bagian-bagian yang tersayat karena tergores oleh pisau kebenaran. Akan
terdengar tangisan kepedihan meraung-raung, dideru oleh suara kebenaran
tersebut. Sudahkah semua siap untuk menerima?
Mengingat
banyaknya orang-orang yang terluka, maka terlalu elok ternyata bila sejarawan Indonesia kemudian
membungkamkan diri untuk membuka luka masa lalu. Meskipun sebagian orang tengah
pesakitan selama lebih dari 46 tahun menderita akibat kebungkaman tersebut. 32
tahun selama Orde Baru mereka dikucilkan di tengah lingkungan sosialnya.
Padahal mereka adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang masa lalu.
Kakek-kakek merekapun sebagian adalah orang-orang yang tidak mengerti dengan
politik, disebabkan oleh enaknya rayuan dengan sebuah hadiah berupa cangkul
atau sabit, lantas ditorehkan namanya sebagai anggota “kuminih”. Lantas ketika
“pembersihan” terjadi, maka merekapun terkena gusur di tengah masyarakat yang
dulunya sangat akrab dengan mereka. Memakai istilah keadilan sebagaimana yang
dituntut Soekarno dalam Pelnawaksaranya, maka anak-anak petani yang kakeknya
menerima hadiah cangkul itupun sebenarnya ingin mengatakan ; “Kalau bicara tentang
“Kebenaran dan Keadilan” maka kami pun minta “Kebenaran dan Keadilan”.
Dalam
agama tidak ada istilah dosa warisan. Setiap orang yang berbuat dosa harus
mempertanggungjawabkan dosanya sendiri di hadapan Tuhan. Akan tetapi di
Indonesia dosa bisa diwariskan kepada orang-orang sesudahnya. Dosa kakek bisa
diwariskan kepada anaknya dan selanjutnya bila tidak selesai diwariskan kepada
cucu dan cicit-cicitnya. Tampaknya hukum di Indonesia lebih hebat daripada
hukum Tuhan.
Sejarahpun
tampaknya harus membantu agar dosa masa lalu bisa dengan pasti terwariskan.
Salah satu bentuk sumbangan sejarah dalam hal ini adalah menuliskan dengan rapi
dalam buku pengetahuannya, dalam lembar-lembar buku paketnya dan banyak lagi
jalur yang ditempuh untuk itu. Sebagai bukti konkrit dalam hal ini adalah
lahirlah berbagai buku putih tentang peristiwa 30 September 1965 itu. Anehnya
buku putih itu sebagian ternyata
berusaha untuk memutihkan tindakan orang-orang tertentu oleh para penulisnya. sebagai imbalan atas
pemutihan tersebut adalah sang penulis menerima imbalan berupa dana atau bentuk lainnya. Di sisi lain peristiwa sendiri tetap kelam
atau kelabu. Tidak ada buku putih yang benar-benar putih tentang peristiwa itu.
Masing-masing pihak merasa benar sendiri. Sementara orang lain-lain adalah para
pesakitan yang terus diusahakan untuk dipersalahkan.***
Jumat, 02 Mei 2014
Marie Antoinette, Sebuah Awal Kehancuran Kerajaan Prancis
Banyak orang mengatakan bahwa kehancuran Kerajaan Prancis terjadi setelah runtuhnya penjara Bastille. Padahal kehancuran kerajaan tersebut sebenarnya telah dimulai dari dalam istana Versailles.
Tidak banyak orang yang tahu tentang Marie Antoinette. Kisahnyapun dalam buku pelajaran sejarah sangat sedikit dibicarakan. Padahal sebenarnya kehadiran Marie Antoinette dalam keruntuhan Kerajaan Prancis tidak sedikit.
Marie Antoinette adalah seorang Putri Bangsawan dari Austria. Ia menikahi Raja Louis XVI dari Prancis yang ketika itu belum naik takhta. Saat menikah, Antoinette berusia 14 tahun, sedangkan Raja Louis berusia 15 tahun. Ketika ayahnya, Raja Austria, baru saja meninggal dunia, ibunya, Maria Theresa, memutus kan menikahkan putri-putrinya dengan bangsawan-bangsawan dari negara-negara lain. Tujuannya ialah mempertahankan tradisi kebangsawanan mereka. Antoinette dijodohkan dengan Louis XVI demi memperbaiki hubungan Austria-Prancis. Raja Louis XV, ayah Louis XVI, meninggal dunia karena penyakit cacar air yang saat itu belum terdapat obatnya.
Setelah meninggalnya Louis XV, maka pada usia 20 tahun, Louis XVI sudah menjadi raja. Marie Antoinette tentu saja menjadi Ratu Prancis. Selama menjadi Ratu Prancis, Marie Antoinette terkenal suka bersenang-senang. Ia sering berbelanja banyak baju, sepatu, dan perhiasan serta perlengkapan lainnya. Hobinya mengoleksi baju dan aksesori wanita diduga merupakan asal mula Prancis disebut sebagai kota fesyen. Karena hobinya yang boros tersebut, rakyat Prancis menjulukinya ia sebagai Madame Deficit.
Rakyat Prancis sangat marah kepada Marie Antoinette yang diduga telah membuat Prancis miskin. Warga Prancis meman–dang Marie Antoinette sebagai ningrat yang suka berfoya-foya terutama di istana Trianon serta berhura-hura hingga fajar tiba. Ia adalah seorang yang sangt dangkal, lemah, ang–kuh, self-indulgent, tidak suka politik, tidak suka membaca, tak pernah selesai membaca surat dan lain-lainnya menjadi ciri yang menempel pada Ratu Prancis tersebut yang mulai tinggal di Istana Versailles sejak umur 14 tahun.
Kebiasaan buruk dari Marie Antoinette ini merupakan awal kehancuran dari kera–jaan Prancis sebelum rakyat menyerbu penjara Bastille. Louis XVI tidak bisa meng–endalian perangai buruk Antoinette. Ia justru lebih dikenal sebagai seorang raja yang lemah, selalu ragu-ragu, sulit mengambil keputusan, terlalu baik dan lain-lain. Dengan karakhter yang seperti itu, maka Louis XVI ikut mempercepat dan menam bah berat merajalelnya kebobrokan istana. Para pejabat istana berlomba mencari peluang karir di depan Louis XVI, atau mengadu domba di depan Antoinette.
Stefan Zweig seorang penulis buku berjudul Marie Antoinette, The Portrait of an Average Woman sebagian menutur kan Marie Antoinette dari sisi kejiwaan. Karakter dan kejiwaan yang disampaikan Zweig mengangkat emosi perempuan biasa, meski–pun ia seorang ratu. Akan tetapi titel pengkhianat yang sudah menempel seperti lepas atas riset Zweig yang mengangkat sisi baik Antoinette di beberapa tahun terakhirnya sebelum dihukum mati. Bahkan sejak buku tersebut terbit pandangan masyarakat dunia mulai bergeser, terutama terhadap kasih sayang kepada keluarga, konsistensi, keberanian dan keteguhannya memegang prinsip, dan menghadapi kematian.
“Louis XVI and Marie Antoinette have often been portrayed as weak and vacillating. Far from it; their policy between 1789 and 1792 was entirely consistent, and highly conservative. They were prepared to die for their beliefs, and ultimately did so.”
Memang terlambat Antoinette mengubah sikap hura-huranya. Kelahiran anaknya, terutama yang menjadi dauphin (ahli waris mahkota) membuat ia mengurangi kesenangannya, mencoba mema–hami situasi politik yang sedang terjadi, membaca surat-surat kerajaan lebih seksama, bahkan membaca buku. Namun situasi politik sudah berubah, Bastille sudah runtuh, istana sudah lumpuh, kaum borjuis meneriak–kan kebebasan, kaum proletar meneriakkan revolusi, rakyat kelaparan. Bahkan Austria pun tak mungkin menyelamatkan dirinya, ia hanya seorang wanita dan jika diselamatkan pun hanya akan merusak hubungan politik Prancis-Austria, juga Revolusi Prancis telah menyatakan perang kepada Austria.
Sejak Dewan Nasional didirikan setahun setelah Bastille runtuh, monarki harus menerima pembatasan kekuasaannya. Versailles pun akhirnya dijaga jenderal revolusi Lafayette, yang juga membantu Revolusi Ameri–ka. Tahun berikutnya pada bulan Juni 1791 Louis XVI dan Antoi–nette kabur ke Varennes dengan bantuan seorang ningrat Swedia, Axel von Fersen, seorang teman dekat Antoinette yang juga menjadi gunjingan publik. Namun usaha kabur dari istana Versailles tersebut gagal, dan akhirnya ia dipenjara di Temple menunggu pengadilan.
Kerabat dan sahabat Antoinet–te masih berusaha membebaskan raja dan ratu serta anak-anaknya dari Temple. Namun usaha tersebut malah membuat Antoinette semakin sendirian. Satu persatu yang dicurigai membantu tawanan revolusi disingkirkan, bahkan dibunuh secara brutal. Hingga akhirnya para tawanan penting revolusi dipindahkan ke penjara Conciergerie.
Sidang yang melelahkan selama belasan jam mencoba mengungkap kasus-kasus istana, terutama kasus kalung berlian yang melibatkan Antoinette, Madame du Barry dan kardinal de Rohan. Yang lebih penting lagi sidang-sidang pengadilan yang diikuti Antoinette sebagai terdak–wa berkaitan dengan pengkhia–natan terhadap revolusi. Zweig menuturkan Antoinette yang lemah fisik di penjara tetap terlihat tegar dan berani, berbicara layak–nya seorang ningrat dan berdiplo–masi terhadap semua tuntutan-tuntutan revolusi. Layaknya seorang wanita biasa, seorang ibu, Antoinette hanya memikirkan kondisi anak-anaknya dan keluarga terdekatnya.
Namun Mahkamah Revolusi sudah menyatakan Antoinette bersalah dan harus dihukum mati, jauh sebelum pengadilan yang melelahkan tersebut terjadi. Sebab jika tidak, para hakim, penuntut dan semua yang membela Antoinette yang akan menghadapi pisau Guillotine.
Malam hari sebelum Antoinette menuju mimbar hukuman mati di Place de la Concorde, ia menulis surat untuk saudara-saudaranya atas bantuan sipir penjara yang menyediakan pena, tinta dan kertas secara sembunyi-sembunyi.
“16 Oktober, pukul empat tiga puluh pagi. Ini adalah suratku yang terakhir kepadamu, Dik. Baru saja aku dijatuhi hukuman mati. Tetapi bukan kematian yang memalukan, sebab mati yang memalukan itu hanya karena kejahatan, sedang aku pergi hendak menyusul saudara–mu. Seperti dia, aku pun tidak bersalah, aku ingin memperlihat–kan keteguhan hatiku yang juga telah diperlihatkannya pada akhir hayatnya itu…”
Di akhir suratnya Antoinette menyatakan mengampuni musuh-musuh yang berbuat jahat kepadanya, serta berpesan agar anak-anaknya tidak diajari dendam terhadap kematiannya. Surat tersebut diakhiri tiba-tiba, tanpa tanda tangan. Ia sudah terlalu letih. Surat tersebut dititipkan kepada kepala penjara. Baru 20 tahun lebih berikutnya surat tersebut terbuka, namun orang-orang yang tertulis di surat tersebut juga sudah tiada, termasuk ahli waris mahkota, Louis XVII. Sungguh tragis. Siapa pula yang menyangka keluarga ningrat Bourbon ternyata naik tahta kembali setelah Emperor Napoleon Bonaparte turun tahta, Louis XVIII memerintah Prancis walau sulit untuk menghilangkan semangat republik.
Dan revolusi pun terus berjalan. Prancis terus menikmati hari-hari kedepannya untuk beberapa waktu dalam kancah revolusi yang melelahkan.
Lima tahun setelah Zweig menulis biografi Antoinette, MGM meluncurkan film Marie Antoinette (1938) yang diperan–kan oleh Norma Shearer. o Syamdani
Tidak banyak orang yang tahu tentang Marie Antoinette. Kisahnyapun dalam buku pelajaran sejarah sangat sedikit dibicarakan. Padahal sebenarnya kehadiran Marie Antoinette dalam keruntuhan Kerajaan Prancis tidak sedikit.
Marie Antoinette adalah seorang Putri Bangsawan dari Austria. Ia menikahi Raja Louis XVI dari Prancis yang ketika itu belum naik takhta. Saat menikah, Antoinette berusia 14 tahun, sedangkan Raja Louis berusia 15 tahun. Ketika ayahnya, Raja Austria, baru saja meninggal dunia, ibunya, Maria Theresa, memutus kan menikahkan putri-putrinya dengan bangsawan-bangsawan dari negara-negara lain. Tujuannya ialah mempertahankan tradisi kebangsawanan mereka. Antoinette dijodohkan dengan Louis XVI demi memperbaiki hubungan Austria-Prancis. Raja Louis XV, ayah Louis XVI, meninggal dunia karena penyakit cacar air yang saat itu belum terdapat obatnya.
Setelah meninggalnya Louis XV, maka pada usia 20 tahun, Louis XVI sudah menjadi raja. Marie Antoinette tentu saja menjadi Ratu Prancis. Selama menjadi Ratu Prancis, Marie Antoinette terkenal suka bersenang-senang. Ia sering berbelanja banyak baju, sepatu, dan perhiasan serta perlengkapan lainnya. Hobinya mengoleksi baju dan aksesori wanita diduga merupakan asal mula Prancis disebut sebagai kota fesyen. Karena hobinya yang boros tersebut, rakyat Prancis menjulukinya ia sebagai Madame Deficit.
Rakyat Prancis sangat marah kepada Marie Antoinette yang diduga telah membuat Prancis miskin. Warga Prancis meman–dang Marie Antoinette sebagai ningrat yang suka berfoya-foya terutama di istana Trianon serta berhura-hura hingga fajar tiba. Ia adalah seorang yang sangt dangkal, lemah, ang–kuh, self-indulgent, tidak suka politik, tidak suka membaca, tak pernah selesai membaca surat dan lain-lainnya menjadi ciri yang menempel pada Ratu Prancis tersebut yang mulai tinggal di Istana Versailles sejak umur 14 tahun.
Kebiasaan buruk dari Marie Antoinette ini merupakan awal kehancuran dari kera–jaan Prancis sebelum rakyat menyerbu penjara Bastille. Louis XVI tidak bisa meng–endalian perangai buruk Antoinette. Ia justru lebih dikenal sebagai seorang raja yang lemah, selalu ragu-ragu, sulit mengambil keputusan, terlalu baik dan lain-lain. Dengan karakhter yang seperti itu, maka Louis XVI ikut mempercepat dan menam bah berat merajalelnya kebobrokan istana. Para pejabat istana berlomba mencari peluang karir di depan Louis XVI, atau mengadu domba di depan Antoinette.
Stefan Zweig seorang penulis buku berjudul Marie Antoinette, The Portrait of an Average Woman sebagian menutur kan Marie Antoinette dari sisi kejiwaan. Karakter dan kejiwaan yang disampaikan Zweig mengangkat emosi perempuan biasa, meski–pun ia seorang ratu. Akan tetapi titel pengkhianat yang sudah menempel seperti lepas atas riset Zweig yang mengangkat sisi baik Antoinette di beberapa tahun terakhirnya sebelum dihukum mati. Bahkan sejak buku tersebut terbit pandangan masyarakat dunia mulai bergeser, terutama terhadap kasih sayang kepada keluarga, konsistensi, keberanian dan keteguhannya memegang prinsip, dan menghadapi kematian.
“Louis XVI and Marie Antoinette have often been portrayed as weak and vacillating. Far from it; their policy between 1789 and 1792 was entirely consistent, and highly conservative. They were prepared to die for their beliefs, and ultimately did so.”
Memang terlambat Antoinette mengubah sikap hura-huranya. Kelahiran anaknya, terutama yang menjadi dauphin (ahli waris mahkota) membuat ia mengurangi kesenangannya, mencoba mema–hami situasi politik yang sedang terjadi, membaca surat-surat kerajaan lebih seksama, bahkan membaca buku. Namun situasi politik sudah berubah, Bastille sudah runtuh, istana sudah lumpuh, kaum borjuis meneriak–kan kebebasan, kaum proletar meneriakkan revolusi, rakyat kelaparan. Bahkan Austria pun tak mungkin menyelamatkan dirinya, ia hanya seorang wanita dan jika diselamatkan pun hanya akan merusak hubungan politik Prancis-Austria, juga Revolusi Prancis telah menyatakan perang kepada Austria.
Sejak Dewan Nasional didirikan setahun setelah Bastille runtuh, monarki harus menerima pembatasan kekuasaannya. Versailles pun akhirnya dijaga jenderal revolusi Lafayette, yang juga membantu Revolusi Ameri–ka. Tahun berikutnya pada bulan Juni 1791 Louis XVI dan Antoi–nette kabur ke Varennes dengan bantuan seorang ningrat Swedia, Axel von Fersen, seorang teman dekat Antoinette yang juga menjadi gunjingan publik. Namun usaha kabur dari istana Versailles tersebut gagal, dan akhirnya ia dipenjara di Temple menunggu pengadilan.
Kerabat dan sahabat Antoinet–te masih berusaha membebaskan raja dan ratu serta anak-anaknya dari Temple. Namun usaha tersebut malah membuat Antoinette semakin sendirian. Satu persatu yang dicurigai membantu tawanan revolusi disingkirkan, bahkan dibunuh secara brutal. Hingga akhirnya para tawanan penting revolusi dipindahkan ke penjara Conciergerie.
Sidang yang melelahkan selama belasan jam mencoba mengungkap kasus-kasus istana, terutama kasus kalung berlian yang melibatkan Antoinette, Madame du Barry dan kardinal de Rohan. Yang lebih penting lagi sidang-sidang pengadilan yang diikuti Antoinette sebagai terdak–wa berkaitan dengan pengkhia–natan terhadap revolusi. Zweig menuturkan Antoinette yang lemah fisik di penjara tetap terlihat tegar dan berani, berbicara layak–nya seorang ningrat dan berdiplo–masi terhadap semua tuntutan-tuntutan revolusi. Layaknya seorang wanita biasa, seorang ibu, Antoinette hanya memikirkan kondisi anak-anaknya dan keluarga terdekatnya.
Namun Mahkamah Revolusi sudah menyatakan Antoinette bersalah dan harus dihukum mati, jauh sebelum pengadilan yang melelahkan tersebut terjadi. Sebab jika tidak, para hakim, penuntut dan semua yang membela Antoinette yang akan menghadapi pisau Guillotine.
Malam hari sebelum Antoinette menuju mimbar hukuman mati di Place de la Concorde, ia menulis surat untuk saudara-saudaranya atas bantuan sipir penjara yang menyediakan pena, tinta dan kertas secara sembunyi-sembunyi.
“16 Oktober, pukul empat tiga puluh pagi. Ini adalah suratku yang terakhir kepadamu, Dik. Baru saja aku dijatuhi hukuman mati. Tetapi bukan kematian yang memalukan, sebab mati yang memalukan itu hanya karena kejahatan, sedang aku pergi hendak menyusul saudara–mu. Seperti dia, aku pun tidak bersalah, aku ingin memperlihat–kan keteguhan hatiku yang juga telah diperlihatkannya pada akhir hayatnya itu…”
Di akhir suratnya Antoinette menyatakan mengampuni musuh-musuh yang berbuat jahat kepadanya, serta berpesan agar anak-anaknya tidak diajari dendam terhadap kematiannya. Surat tersebut diakhiri tiba-tiba, tanpa tanda tangan. Ia sudah terlalu letih. Surat tersebut dititipkan kepada kepala penjara. Baru 20 tahun lebih berikutnya surat tersebut terbuka, namun orang-orang yang tertulis di surat tersebut juga sudah tiada, termasuk ahli waris mahkota, Louis XVII. Sungguh tragis. Siapa pula yang menyangka keluarga ningrat Bourbon ternyata naik tahta kembali setelah Emperor Napoleon Bonaparte turun tahta, Louis XVIII memerintah Prancis walau sulit untuk menghilangkan semangat republik.
Dan revolusi pun terus berjalan. Prancis terus menikmati hari-hari kedepannya untuk beberapa waktu dalam kancah revolusi yang melelahkan.
Lima tahun setelah Zweig menulis biografi Antoinette, MGM meluncurkan film Marie Antoinette (1938) yang diperan–kan oleh Norma Shearer. o Syamdani
Langganan:
Postingan (Atom)