Minggu, 25 Mei 2014

Jelajahi Samudera Selamatkan Kehidupan



Oleh : Syamdani
Selama masa perdagangan jalur Sutra, Eropa sudah terbiasa untuk menikmati rempah-rempah dari Asia. Bangsa yng mereka kenal sebagai penghasil rempah-rempah tersebut adalah India, karena memang selama perdagangan rempah, mereka umumnya lebih banyak menjalin hubungan dengan pedagang dari India. Akan tetapi setelah meletusnya perang Salib, maka bangsa Eropa sulit untuk mendapatkan rempah-rempah dari Asia tersebut, karena pusat  jalur perdagangan rempah di Mediterania dikuasai oleh penguasa Islam Turki. Satu-satunya cara untuk mendapatkan rempah-rempah adalah menemukan sendiri daerah penghasil rempah-rempah tersebut yaitu India.
Ada beberapa tantangan yang harus mereka lalui yaitu pertama, mereka tidak mengetahui dimana India terletak. Kedua, mereka harus berhadapan dengan pendapat yang mengatakan bahwa bumi bukan bulat seperti bola, melainkan datar menyerupai kubus. Bila mereka melalukan perjal anan atau pelayaran yang terlalu jauh, maka mereka akan sampai diujung dunia, dimana di sana terdapat jurang yang dalam dan neraka. Ketiga mereka juga dihadapkan dengan teori geosentris yang selama ini berkembang di Eropa.
Teori Geosentris adalah teori yang mengatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya. Teori ini kemudian dibantah oleh Copernicus yang mengatakan bahwa bumi bukan pusat tata surya melainkan mataharilah yang menjadi pusat tata  surya. Sedangkan bumi bergerak berputar mengelilingi matahari. Teori yang dikemukakan oleh Copernicus tersebut dikenal  dengan teori Heliosentris (matahari pusat tata surya).
Pendapat Copernicus ini kemudian didukung oleh ahli lain bernama Galileo Galilei. Galileo dengan menggunakan teleskop ciptaannya yang lebih baik, berhasil membuktikan perjalanan benda-benda langit. Dengan mengamati perjalanan benda-benda langit itu, Galileo sampai pada kesimpulan bahwa memang mataharilah yang menjadi pusat tata surya dan bukan bumi.
Ketergantungan dengan rempah-rempah bangsa Asia, membuat bangsa Eropa melawan maut sebagai martir untuk segera menemukan pusat rempah Asia. Berbagai halangan yang ditemukan secara teori harus mereka tundukan. Mereka mencoba untuk membuktikan teori gereja yang selama ini berkembang tentang bumi. Itu semua mereka lakukan untuk menyelamatkan kehidupan. Mereka memberanikan diri keluar daratan Eropa, mengarungi lautan lepas dan menghadang maut. Sejak itu, satu demi satu daerah mereka temukan di luar Eropa. Masa menemukan daerah di luar Eropa itu dikenal juga dengan “abad penemuan”.
 Saat Vasco da Gama berlayar melalui Tanjung Harapan untuk mencapai India di tahun 1498, Portugis mengarahkan usaha mereka ke selatan dan timur. Spanyol, yang sepakat membagi dua dunia ini dengan Portugis dalam Perjanjian Tordesillas pada tanggal 7 Juni 1494, berlayar ke arah barat. Saat itu mereka tidak menyadari akan adanya Benua Amerika dan tidak seorang pun tahu tentang Samudera Pasifik.
Christhopher Columbus (1451-1506), seorang Italia yang hijrah ke Spanyol, berteori bahwa karena bumi bulat, sebuah kapal laut dapat mencapai Timur Jauh dari arah yang berbeda. Dia meyakinkan kerajaan untuk membiayai pencariannya lalu berangkat berlayar pada Agustus 1492. Setelah sepuluh minggu, dia melihat sebuah pulau di Bahamas, yang dinamainya San Salvador. Karena berpikir telah menemukan pulau dekat Jepang, dia berlayar terus sampai mencapai Kuba (yang disangka Cina) dan Haiti. Dia bertemu dengan penduduk berkulit gelap yang dia sebut “Indian” karena dia berpikir dia sedang berlayar di Lautan Hindia.
Columbus melakukan tiga perjalanan lagi ke Dunia Baru yang dia pikir adalah Timur, di tahun 1493, 1497 dan 1502, melalui Puerto Riko, Kepulauan Virgin, Jamaika dan Trinidad. Columbus sendiri tidak pernah mencapai Amerika Utara, dan sampai saat wafatnya, tetap berpikir bahwa dia telah mencapai Asia.

Amerika Utara ditemukan
Sebelum orang-orang Spanyol di bawah pimpinan  Colombus sampai ke Amerika, bangsa Viking sudah lebih dulu mencapai Amerika. Kapal-kapal Bangsa Viking telah mencapai Amerika Utara hampir 500 tahun sebelumnya. Bangsa Viking berlayar dari Pulau Es pada pertengahan tahun 990. Biarni Heriolfsson merubah haluan arah semula dan terdampar di daerah tak bertuan. Dia tidak menjelajahi ataupun menamai daerah daratan tersebut. Pada tahun 1002, Leifr Eiriksson menelusuri jalur yang sama tapi dengan arah berlawanan dan mencapai pantai yang sekarang disebut Kanada. Kemudian dia berlayar lagi ke arah selatan dan menemukan sebuah pulau yang dinamai Vinland (Newfoundland-sekarang) di mana dia membangun pemukiman dan berdagang selama 3 tahun dengan penduduk asli yang dikenal sebagai Bangsa Skraeling. Pada akhirnya Bangsa Skraeling memaksa mereka untuk pergi, tetapi Bangsa Viking tetap berlayar menuju Kanada untuk mencari hasil hutan.
Di tahun 1497, Raja Henry ke VII menyetujui penjelajahan John Cabot (1450-1498). Pada tanggal 2 Mei, Cabot dengan 18 awaknya meninggalkan Bristol, Inggris dengan menggunakan sebuah kapal kecil dengan nama Matthew. Dia berlayar lebih jauh ke Utara dari pada yang dilakukan oleh Columbus, jauh diluar wilayah kekuasaan Spanyol. Pada tanggal 24 Juni, para awak melihat daratan. Cabot diyakinkan telah menemukan sebuah pulau di lepas pantai Asia dan menamakannya “new found land”. Itu adalah pendaratan pertama di Newfoundland yang didokumentasikan sejak penjelajahan Bangsa Viking. Cabot kembali ke Inggris pada tanggal 6 Agustus 1497, dan meskipun dia tidak membawa rempah-rempah maupun harta karun, dia adalah orang pertama yang memetakan Pantai Amerika Utara.***


G 30 S/PKI Sebuah Genosida



Oleh : Syamdani


Peristiwa Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia adalah sebuah peristiwa yang belum usai. Bila dilihat lebih dalam, sebenarnya peristiwa itu masih merupakan peristiwa politik. Akan tetapi karena terpaut oleh konsep waktu bahwa peristiwa itu telah terjadi, maka Gerakan 30 S /PKI masuk dalam kajian sejarah.
Sebagai sebuah sejarah yang belum usai, sebenarnya sulit  untuk menyatakan bahwa salah satu pihak yang terduga sebagai yang disalahkan. Kecuali bila ada kebebasan untuk menelaah lebih dalam dengan ketersediaan arsip-arsip secara bebas tentang peristiwa tersebut, maka penelaah tentang siapa sebagai dalang peristiwa akan bisa diungkap.
Meskipun demikian, walaupun dalam sejarah sebaiknya unsur subyektifitas harus dihindarkan, namun unsur subyektifitas itu bukan sesuatu yang bisa dihindarkan. Kalaupun dipaksakan untuk menghindarkan unsur subyektifitas, maka akan ada bekas-bekas luka yang kembali menganga dan mengeluarkan darah. Akan ada bagian-bagian yang tersayat karena tergores oleh pisau kebenaran. Akan terdengar tangisan kepedihan meraung-raung, dideru oleh suara kebenaran tersebut. Sudahkah semua siap untuk menerima?
Mengingat banyaknya orang-orang yang terluka, maka terlalu elok  ternyata bila sejarawan Indonesia kemudian membungkamkan diri untuk membuka luka masa lalu. Meskipun sebagian orang tengah pesakitan selama lebih dari 46 tahun menderita akibat kebungkaman tersebut. 32 tahun selama Orde Baru mereka dikucilkan di tengah lingkungan sosialnya. Padahal mereka adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa tentang masa lalu. Kakek-kakek merekapun sebagian adalah orang-orang yang tidak mengerti dengan politik, disebabkan oleh enaknya rayuan dengan sebuah hadiah berupa cangkul atau sabit, lantas ditorehkan namanya sebagai anggota “kuminih”. Lantas ketika “pembersihan” terjadi, maka merekapun terkena gusur di tengah masyarakat yang dulunya sangat akrab dengan mereka. Memakai istilah keadilan sebagaimana yang dituntut Soekarno dalam Pelnawaksaranya, maka anak-anak petani yang kakeknya menerima hadiah cangkul itupun sebenarnya ingin mengatakan ; “Kalau bicara tentang “Kebenaran dan Keadilan” maka kami pun minta “Kebenaran dan Keadilan”.
Dalam agama tidak ada istilah dosa warisan. Setiap orang yang berbuat dosa harus mempertanggungjawabkan dosanya sendiri di hadapan Tuhan. Akan tetapi di Indonesia dosa bisa diwariskan kepada orang-orang sesudahnya. Dosa kakek bisa diwariskan kepada anaknya dan selanjutnya bila tidak selesai diwariskan kepada cucu dan cicit-cicitnya. Tampaknya hukum di Indonesia lebih hebat daripada hukum Tuhan.
Sejarahpun tampaknya harus membantu agar dosa masa lalu bisa dengan pasti terwariskan. Salah satu bentuk sumbangan sejarah dalam hal ini adalah menuliskan dengan rapi dalam buku pengetahuannya, dalam lembar-lembar buku paketnya dan banyak lagi jalur yang ditempuh untuk itu. Sebagai bukti konkrit dalam hal ini adalah lahirlah berbagai buku putih tentang peristiwa 30 September 1965 itu. Anehnya buku putih itu sebagian ternyata  berusaha untuk memutihkan tindakan orang-orang tertentu  oleh para penulisnya. sebagai imbalan atas pemutihan tersebut adalah sang penulis menerima imbalan berupa dana  atau bentuk lainnya.  Di sisi lain peristiwa sendiri tetap kelam atau kelabu. Tidak ada buku putih yang benar-benar putih tentang peristiwa itu. Masing-masing pihak merasa benar sendiri. Sementara orang lain-lain adalah para pesakitan yang terus diusahakan untuk dipersalahkan.***


Jumat, 02 Mei 2014

Marie Antoinette, Sebuah Awal Kehancuran Kerajaan Prancis

Banyak orang mengatakan bahwa kehancuran Kerajaan Prancis terjadi setelah  runtuhnya penjara Bastille. Padahal kehancuran kerajaan tersebut sebenarnya telah dimulai dari dalam istana Versailles.

Tidak banyak orang yang tahu tentang Marie Antoinette. Kisahnyapun dalam buku pelajaran sejarah sangat sedikit dibicarakan. Padahal sebenarnya kehadiran Marie Antoinette dalam keruntuhan Kerajaan Prancis tidak sedikit. 
Marie Antoinette adalah seorang Putri Bangsawan dari Austria. Ia menikahi Raja Louis XVI dari Prancis yang ketika itu belum naik takhta. Saat menikah, Antoinette berusia 14 tahun, sedangkan Raja Louis berusia 15 tahun. Ketika ayahnya, Raja Austria, baru saja meninggal dunia, ibunya, Maria Theresa, memutus kan menikahkan putri-putrinya dengan bangsawan-bangsawan dari negara-negara lain. Tujuannya ialah mempertahankan tradisi kebangsawanan mereka. Antoinette dijodohkan dengan Louis XVI demi memperbaiki hubungan Austria-Prancis. Raja Louis XV, ayah Louis XVI, meninggal dunia karena penyakit cacar air yang saat itu belum terdapat obatnya.
Setelah meninggalnya Louis XV, maka pada usia 20 tahun, Louis XVI sudah menjadi raja. Marie Antoinette tentu saja menjadi Ratu Prancis. Selama menjadi Ratu Prancis, Marie Antoinette terkenal suka bersenang-senang. Ia sering berbelanja banyak baju, sepatu, dan perhiasan serta perlengkapan lainnya. Hobinya mengoleksi baju dan aksesori wanita diduga merupakan asal mula Prancis disebut sebagai kota fesyen. Karena hobinya yang boros tersebut, rakyat Prancis menjulukinya ia sebagai Madame Deficit.
Rakyat Prancis sangat marah kepada Marie Antoinette yang diduga telah membuat Prancis miskin. Warga Prancis meman–dang Marie Antoinette sebagai ningrat yang suka berfoya-foya terutama di istana Trianon serta berhura-hura hingga fajar tiba. Ia adalah seorang yang sangt dangkal, lemah, ang–kuh, self-indulgent, tidak suka politik, tidak suka membaca, tak pernah selesai membaca surat dan lain-lainnya menjadi ciri yang menempel pada Ratu Prancis tersebut yang mulai tinggal di Istana Versailles sejak umur 14 tahun.
Kebiasaan buruk dari Marie Antoinette ini merupakan awal kehancuran dari kera–jaan Prancis sebelum rakyat menyerbu penjara Bastille. Louis XVI tidak bisa meng–endalian perangai buruk Antoinette. Ia justru lebih dikenal sebagai seorang raja yang lemah, selalu ragu-ragu, sulit mengambil keputusan, terlalu baik dan lain-lain. Dengan karakhter yang seperti itu, maka Louis XVI  ikut mempercepat dan menam bah berat merajalelnya kebobrokan istana. Para pejabat istana berlomba mencari peluang karir di depan Louis XVI, atau mengadu domba di depan Antoinette.
Stefan Zweig seorang penulis buku berjudul Marie Antoinette, The Portrait of an Average Woman sebagian menutur kan Marie Antoinette dari sisi kejiwaan. Karakter dan kejiwaan yang disampaikan Zweig mengangkat emosi perempuan biasa, meski–pun ia seorang ratu. Akan tetapi titel pengkhianat yang sudah menempel seperti lepas atas riset Zweig yang mengangkat sisi baik Antoinette di beberapa tahun terakhirnya sebelum dihukum mati. Bahkan sejak buku tersebut terbit pandangan masyarakat dunia mulai bergeser, terutama terhadap kasih sayang kepada keluarga, konsistensi, keberanian dan keteguhannya memegang prinsip, dan menghadapi kematian.
“Louis XVI and Marie Antoinette have often been portrayed as weak and vacillating. Far from it; their policy between 1789 and 1792 was entirely consistent, and highly conservative. They were prepared to die for their beliefs, and ultimately did so.”
Memang terlambat Antoinette mengubah sikap hura-huranya. Kelahiran anaknya, terutama yang menjadi dauphin (ahli waris mahkota) membuat ia mengurangi kesenangannya, mencoba mema–hami situasi politik yang sedang terjadi, membaca surat-surat kerajaan lebih seksama, bahkan membaca buku. Namun situasi politik sudah berubah, Bastille sudah runtuh, istana sudah lumpuh, kaum borjuis meneriak–kan kebebasan, kaum proletar meneriakkan revolusi, rakyat kelaparan. Bahkan Austria pun tak mungkin menyelamatkan dirinya, ia hanya seorang wanita dan jika diselamatkan pun hanya akan merusak hubungan politik Prancis-Austria, juga Revolusi Prancis telah menyatakan perang kepada Austria.
Sejak Dewan Nasional didirikan setahun setelah Bastille runtuh, monarki harus menerima pembatasan kekuasaannya. Versailles pun akhirnya dijaga jenderal revolusi Lafayette, yang juga membantu Revolusi Ameri–ka. Tahun berikutnya pada bulan Juni 1791 Louis XVI dan Antoi–nette kabur ke Varennes dengan bantuan seorang ningrat Swedia, Axel von Fersen, seorang teman dekat Antoinette yang juga menjadi gunjingan publik. Namun usaha kabur dari istana Versailles tersebut gagal, dan akhirnya ia dipenjara di Temple menunggu pengadilan.
Kerabat dan sahabat Antoinet–te masih berusaha membebaskan raja dan ratu serta anak-anaknya dari Temple. Namun usaha tersebut malah membuat Antoinette semakin sendirian. Satu persatu yang dicurigai membantu tawanan revolusi disingkirkan, bahkan dibunuh secara brutal. Hingga akhirnya para tawanan penting revolusi dipindahkan ke penjara Conciergerie.
Sidang yang melelahkan selama belasan jam mencoba mengungkap kasus-kasus istana, terutama kasus kalung berlian yang melibatkan Antoinette, Madame du Barry dan kardinal de Rohan. Yang lebih penting lagi sidang-sidang pengadilan yang diikuti Antoinette sebagai terdak–wa berkaitan dengan pengkhia–natan terhadap revolusi. Zweig menuturkan Antoinette yang lemah fisik di penjara tetap terlihat tegar dan berani, berbicara layak–nya seorang ningrat dan berdiplo–masi terhadap semua tuntutan-tuntutan revolusi. Layaknya seorang wanita biasa, seorang ibu, Antoinette hanya memikirkan kondisi anak-anaknya dan keluarga terdekatnya.
Namun Mahkamah Revolusi sudah menyatakan Antoinette bersalah dan harus dihukum mati, jauh sebelum pengadilan yang melelahkan tersebut terjadi. Sebab jika tidak, para hakim, penuntut dan semua yang membela Antoinette yang akan menghadapi pisau Guillotine.
Malam hari sebelum Antoinette menuju mimbar hukuman mati di Place de la Concorde, ia menulis surat untuk saudara-saudaranya atas bantuan sipir penjara yang menyediakan pena, tinta dan kertas secara sembunyi-sembunyi.
“16 Oktober, pukul empat tiga puluh pagi. Ini adalah suratku yang terakhir kepadamu, Dik. Baru saja aku dijatuhi hukuman mati. Tetapi bukan kematian yang memalukan, sebab mati yang memalukan itu hanya karena kejahatan, sedang aku pergi hendak menyusul saudara–mu. Seperti dia, aku pun tidak bersalah, aku ingin memperlihat–kan keteguhan hatiku yang juga telah diperlihatkannya pada akhir hayatnya itu…”
Di akhir suratnya Antoinette menyatakan mengampuni musuh-musuh yang berbuat jahat kepadanya, serta berpesan agar anak-anaknya tidak diajari dendam terhadap kematiannya. Surat tersebut diakhiri tiba-tiba, tanpa tanda tangan. Ia sudah terlalu letih. Surat tersebut dititipkan kepada kepala penjara. Baru 20 tahun lebih berikutnya surat tersebut terbuka, namun orang-orang yang tertulis di surat tersebut juga sudah tiada, termasuk ahli waris mahkota, Louis XVII. Sungguh tragis. Siapa pula yang menyangka keluarga ningrat Bourbon ternyata naik tahta kembali setelah Emperor Napoleon Bonaparte turun tahta, Louis XVIII memerintah Prancis walau sulit untuk menghilangkan semangat republik.
Dan revolusi pun terus berjalan. Prancis terus menikmati hari-hari kedepannya untuk beberapa waktu dalam kancah revolusi yang melelahkan.
Lima tahun setelah Zweig menulis biografi Antoinette, MGM meluncurkan film Marie Antoinette (1938) yang diperan–kan oleh Norma Shearer. o Syamdani